JAKARTA. Kinerja emiten sektor barang konsumsi diprediksi tidak akan banyak terpengaruh terkait ancaman inflasi. Seperti yang diketahui, pemerintah dan analis memprediksi adanya kenaikan inflasi akibat dampak dari kenaikan harga BBM bersubsidi dan tarif dasar listrik. Kendati begitu, sejumlah analis optimistis, sektor barang konsumsi merupakan salah satu sektor yang paling mudah menyesuaikan kenaikan laju inflasi. Menurut Andrew Argado, analis eTrading Securities, sektor konsumsi merupakan sektor yang cukup fleksibel menghadapi tekanan inflasi karena bersifat strategis dan unik. "Beberapa barang konsumsi adalah kebutuhan pokok, sehingga ongkos inflasi kemungkinan besar akan ditanggung oleh konsumen," katanya.
Selain itu, lanjutnya, jika harga akan naik, masyarakat tidak serta merta masyarakat menghentikan konsumsinya. Kepala Riset MNC Securities Edwin Sebayang juga memiliki pendapat yang sama. Dia bilang, efek kenaikan harga BBM bersubsidi sangat kecil terhadap kinerja fundamental dan ongkos produksi emiten barang konsumsi. Pendapatan bisa tumbuh 30% Bahkan Edwin optimistis, sektor barang konsumsi berpotensi naik 10%-30% di tahun 2012 ini. Andrew menambahkan untuk kinerja sahamnya, barang konsumsi cenderung stabil. Jika investor ingin memilih emiten mana yang bisa dikoleksi sahamnya, sebaiknya investor melihat latar belakang fundamental emiten tersebut. "Mungkin dalam waktu dekat ini, bisa dilihat laporan keuangan akhir tahun 2011," tuturnya. Selain dari kinerja keuangannya, Andrew bilang, investor hendaknya mencari informasi juga mengenai target pertumbuhan masing-masing emiten barang konsumsi di tahun Naga Air ini. "Investor bisa melihat capex mereka, ekspansi dan target pertumbuhan sehingga bisa mendapatkan dividen yang bagus juga," tambahnya. Sementara itu, Analis Askap Futures Kiswoyo Adi Joe menilai, prospek kinerja saham dan fundamental PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF) lebih baik ketimbang emiten barang konsumsi lainnya. Dia membandingkan kinerja INDF dengan PT Unilever Indonesia (UNVR) dan PT Mayora Indah Tbk (MYOR), “INDF masih berpeluang memiliki tingkat pertumbuhan finansial yang lebih tinggi. "Sedangkan kinerja UNVR mulai stagnan karena tahun sebelumnya sudah tumbuh signifikan," jelasnya, Jumat (9/3). Kiswoyo berpendapat INDF bisa tumbuh 30% di tahun ini, sedangkan pendapatan UNVR hanya bisa tumbuh sekitar 10%-15%. Dia juga memprediksi, kinerja MYOR bisa mencatatkan kenaikan 15% pada tahun ini. Untuk ekspansi, INDF lebih unggul karena mereka berencana ekspansi produk susu baru, dan juga membangun pabrik untuk tepung terigu dan produk kelapa sawit. "Sedangkan UNVR dan MYOR kurang ekspansi di tahun ini," jelas Kiswoyo.
Corporate Secretary PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) Santoyo mengungkapkan bahwa pihaknya sedang memantau kepastian besaran kenaikan BBM Bersubsidi terhadap laju inflasi. Dengan demikian, mereka bisa menghitung ulang tambahan pada ongkos produksi. Menurut Santoyo, kondisi ini pernah dialami oleh UNVR sebelumnya. Sehingga, jika perusahaan menghadapi hal yang sama, pihaknya sudah memiliki pengalaman mengenai hal tersebut. "Kami sudah 80 tahun di industri ini. Yang paling penting adalah bagaimana menjaga kualitas produksi serta berupaya menekan biaya produksi dan biaya distribusi se-efisien mungkin," tuturnya, Jumat (9/3). Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Barratut Taqiyyah Rafie