Inflasi tinggi, BI Rate tak perlu berubah



JAKARTA. Masyarakat masih mengkhawatirkan potensi kenaikan harga barang (inflasi) dalam tiga hingga enam bulan ke depan. Karena itu, hampir semua ekonom yang dihubungi KONTAN berpendapat, sebaiknya Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) pada Kamis (12/4), tidak mengubah suku bunga acuan Bank Indonesia (BI rate).

Hitungan matematis, tingkat inflasi setahun terakhir (year on year) hingga Maret 2012 yang sebesar 3,97%, masih tergolong rendah. Meskipun, angka inflasi ini masih lebih tinggi jika dibandingkan inflasi setahun terakhir hingga Januari 2012 yang berada di posisi 3,65%.

Argumentasi lain agar BI tak menurunkan BI rate adalah, tingkat bunga di pasar keuangan yang berlaku saat ini sudah di bawah BI rate yang 5,75%. "Bunga overnight di kisaran 3,5% dan bunga Fasilitas Bank Indonesia (FASBI) di kisaran 3,75%," kata Destry Damayanti, Ekonom Bank Mandiri kemarin.


Kepala Ekonom Bank Internasional Indonesia (BII), Juniman, berpendapat, sejak bunga acuan turun dari 6% menjadi 5,75% di awal tahun ini, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat terus melemah. "Rupiah tak pernah menguat di bawah Rp 9.000 per dollar AS," ujarnya.

Juniman mengingatkan, BI perlu membuat adem di pasar keuangan saat kondisi seperti saat ini. "Masih ada risiko sudden reversal yang bisa membuat rupiah menjadi semakin lemah," kata Juniman.

Karena itulah, dalam polling yang dilakukan KONTAN terhadap lima ekonom, semuanya memperkirakan BI tetap mempertahankan BI rate di angka 5,75%. Seluruh ekonom yang berjumlah 18 orang yang disurvei Bloomberg juga memprediksi bunga acuan BI masih tetap.

Ketidakpastian harga BBM bersubsidi

Ekonom juga menunjukkan argumentasi lain mengapa BI rate perlu bertahan di level 5,75%. Yakni, ada ketidakpastian harga jual bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Memang, harga BBM bersubsidi batal naik mulai April 2012. Tapi, DPR memberi peluang pemerintah untuk menaikkan harga BBM bersubsidi, jika rata-rata harga minyak mentah Indonesia alias Indonesia Crude Price (ICP) mencapai 15% di atas patokan ICP di beleid anggaran terbaru.

Poin itulah yang terus membayangi inflasi. "ICP terus meningkat, sehingga peluang kenaikan harga BBM naik makin tinggi," kata Ekonom BCA David Sumual. Bila harga BBM bersubsidi naik, hampir pasti inflasi melejit tinggi.

Ekonom Universitas Gadjah Mada Tony Prasetiantono menambahkan, ketidakpastian ini menyebabkan investor global lebih suka memegang dollar AS ketimbang rupiah. Alhasil, cadangan devisa Indonesia pun merosot dari kisaran US$ 112 miliar ke US$ 110 miliar. Kepala Ekonom Standard Chartered Bank Fauzi Ichsan menilai, jika BI gampang mengutak-atik BI rate, bisa menurunkan kredibilitas bank sentral. "BI bisa mengetatkan kebijakan moneter tapi bukan dengan menaikkan atau menurunkan BI rate," jelasnya.

Fauzi menyarankan BI mengambil kebijakan moneter lain untuk mengendalikan likuiditas. Misalnya, dengan menaikkan giro wajib minimum (GWM) perbankan dan menerbitkan SBI lebih banyak. "BI juga bisa menaikkan bunga FASBI," katanya.

Di sisi lain, BI perlu mempertahankan bunga rendah agar tujuan utama menekan bunga kredit bisa tercapai. Sehingga target kredit perbankan mengalir lebih deras bisa terpenuhi tahun ini. Meski ekonom menyuarakan BI rate tetap, keputusan akhir soal bunga acuan tetap berada di tangan BI.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie