KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Pemerintah mengeluarkan peraturan pemerintah (PP) baru tentang Pihak Pelapor dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang alias TPPU
Lewat PP Nomor 61 Tahun 2021, aturan ini merevisi beberapa poin dalam PP Nomor 43 Tahun 2015 tentang pihak pelapor dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.
PP yang diteken Presiden Joko Widodo pada 13 April 2021 dan diundangkan sehari setelahnya itu, pemerintah menambah jumlah pihak pelapor yang wajib menyampaikan laporan kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk mencegah tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Yang terbaru adalah penyelenggara fintech kini juga berkewajiban untuk melaporkan transaksi keuangan mencurigakan.
Ini artinya, daftar transaksi keuangan mencurigakan terus bertambah. Pasalnya, dalam aturan sebelumnya yaitu PP 43/2015, penyedia jasa keuangan yang diwajibkan melaporkan transaksi keuangan mencurigakan antara lain seperti penyelenggara layanan pinjam meminjam uang berbasis IT atau pinjol.
Tak hanya itu saja, yang juga baru adalah layanan urun dana melalui penawaran saham berbasis IT dan penyelenggara layanan transaksi keuangan berbasis IT juga wajib melaporkan transaksi keuangan mencurigakan kepada PPATK.
Dengan beleid terbaru, fintech wajib menyampaikan laporan kepada PPATK sesuai dengan ketentuan pada Pasal 23 UU TPPU.
"Perlu mengatur penyelenggara layanan jasa keuangan berbasis teknologi informasi sebagai pihak pelapor dalam pencegahan dan pemberantasan TPPU," bunyi bagian pertimbangan beleid terbaru tersebut, dikutip Senin (19/4/2021).
Lalu, apa saja laporan transaksi mencurigakan yang wajib dilaporkan ke PPATK? Pada Pasal 23 PP 61/2021, laporan yang wajib disampaikan kepada PPATK antara lain transaksi keuangan mencurigakan;
-transaksi keuangan tunai paling sedikit senilai Rp500 juta dalam bentuk rupiah atau mata uang asing yang dilakukan 1 kali atau berkali-kali dalam 1 hari kerja; dan transfer keuangan dari dan ke luar negeri.
Adapun definisi transaksi keuangan adalah transaksi keuangan yang menyimpang dari pola transaksi dan transaksi yang diduga dilakukan dengan tujuan menghindari pelaporan transaksi.
Transaksi keuangan mencurigakan juga meliputi transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan harta kekayaan yang berasal dari hasil tindak pidana serta transaksi yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh pihak pelapor karena melibatkan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.
Pemerintah menilai terdapat potensi digunakannya layanan jasa keuangan berbasis IT atau fintech sebagai sarana pencucian uang.
Dengan begitu, kini jumlah pelapor transaksi mencurigakan sebagai berikut:
a. penyedia jasa keuangan:
1. bank;
2. perusahaan pembiayaan;
3. perusahaan asuransi dan perusahaan pialang asuransi;
4. dana pensiun lembaga keuangan;
5. perusahaan efek;
6. manajer investasi;
7. kustodian;
8. wali amanat;
9. perposan sebagai penyedia jasa giro;
10. pedagang valuta asing;
11. penyelenggara alat pembayaran menggunakan kartu;
12. penyelenggara e-money dan/atau e-wallet;
13. koperasi yang melakukan kegiatan simpan pinjam;
14. pegadaian;
15. perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan berjangka komoditi; atau
16. penyelenggara kegiatan usaha pengiriman uang.
B. penyedia barang dan/atau jasa lain:
1. perusahaan properti/agen properti;
2. pedagang kendaraan bermotor;
3. pedagang permata dan perhiasan/logam mulia;
4. pedagang barang seni dan antik; atau
5. balai lelang.
(2) Pihak Pelapor penyedia jasa keuangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mencakup juga:
a. perusahaan modal ventura;
b. perusahaan pembiayaan infrastruktur;
c. lembaga keuangan mikro;
d. lembaga pembiayaan ekspor;
e. penyelenggara layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi;
f. penyelenggara layanan urun dana melalui penawaran saham berbasis teknologi informasi; dan
g. penyelenggara layanan Transaksi Keuangan berbasis teknologi informasi.