Inggris Tinjau Kembali Aturan Soal Media Sosial Pasca Kerusuhan



KONTAN.CO.ID - LONDON. Pemerintah Inggris kini tengah mempertimbangkan perubahan terhadap Undang-Undang Keamanan Online (Online Safety Act) setelah terjadi serangkaian kerusuhan yang dipicu oleh informasi palsu secara daring.

Kerusuhan tersebut, yang melibatkan tindakan rasis dan kekerasan, menggarisbawahi kebutuhan mendesak untuk meninjau kembali regulasi yang ada guna menanggulangi masalah-masalah yang timbul dari penggunaan media sosial.

Pentingnya Undang-Undang Keamanan Online

Undang-Undang Keamanan Online yang disahkan pada bulan Oktober lalu, dan direncanakan akan diberlakukan pada awal tahun depan, memberikan wewenang kepada pemerintah Inggris untuk mengenakan denda kepada perusahaan media sosial hingga 10% dari omset global mereka jika mereka terbukti melanggar ketentuan.


Saat ini, denda hanya dikenakan jika perusahaan gagal mengawasi konten ilegal, seperti hasutan kekerasan atau ujaran kebencian. Namun, perubahan yang diusulkan dapat memperluas cakupan sanksi dengan memungkinkan Ofcom memberikan hukuman jika perusahaan membiarkan konten "legal tetapi berbahaya," seperti informasi yang salah, berkembang tanpa kontrol.

Pemerintah Inggris yang baru dipimpin oleh Partai Buruh kini mewarisi undang-undang ini dari pemerintahan Konservatif sebelumnya.

Baca Juga: Protes Antirasisme Melanda Inggris setelah Kerusuhan Anti-Muslim

Pemerintahan Konservatif menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk menyempurnakan undang-undang ini dengan tujuan menyeimbangkan hak kebebasan berbicara dengan kekhawatiran tentang bahaya yang ditimbulkan oleh konten online.

Survei yang dirilis oleh YouGov pada hari Jumat menunjukkan bahwa dua pertiga (66%) dari lebih dari 2.000 orang dewasa yang disurvei merasa bahwa perusahaan media sosial harus bertanggung jawab atas posting yang menghasut perilaku kriminal.

Lebih lanjut, 70% responden merasa bahwa perusahaan media sosial tidak diatur secara memadai, dan 71% berpendapat bahwa mereka tidak melakukan cukup banyak untuk menangkal informasi yang salah selama kerusuhan berlangsung.

Menteri Kabinet Nick Thomas-Symonds menyatakan bahwa pemerintah akan meninjau kembali kerangka undang-undang tersebut. “Ada aspek-aspek dari Undang-Undang Keamanan Online yang jelas belum berlaku. Kami siap membuat perubahan jika diperlukan,” ujarnya dalam wawancara dengan Sky News.

Sadiq Khan, Walikota London, juga mengungkapkan bahwa Undang-Undang Keamanan Online perlu diperbarui setelah kerusuhan tersebut.

“Saya pikir apa yang perlu dilakukan pemerintah dengan sangat cepat adalah memeriksa apakah undang-undang ini sesuai dengan tujuannya. Saya pikir undang-undang ini tidak sesuai dengan tujuannya,” katanya dalam wawancara dengan Guardian.

Baca Juga: Kerusuhan di Inggris, Tersulut Unggahan Provokatif di Media Sosial

Konteks Kerusuhan

Kerusuhan menyebar di seluruh Inggris minggu lalu setelah postingan online yang salah mengidentifikasi pelaku pembunuhan tiga gadis muda dalam serangan pisau pada 29 Juli sebagai seorang migran Muslim.

Saat para perusuh bentrok dengan polisi di beberapa kota, pemilik X, Elon Musk, juga menggunakan platformnya untuk membagikan informasi yang menyesatkan kepada jutaan pengikutnya, termasuk sebuah posting yang menyarankan bahwa perang saudara adalah "tak terhindarkan" di Inggris.

Juru bicara Perdana Menteri Keir Starmer menyatakan bahwa tidak ada "justifikasi" untuk komentar semacam itu.

Editor: Handoyo .