JAKARTA. Akhir-akhir ini, belanja pegawai pemerintah daerah (pemda) yang melonjak tinggi mendapat kritikan keras. Dus, pemerintah menelurkan solusi moratorium PNS. Tapi sebenarnya, kunci masalah tersebut berada pada alokasi anggaran daerah. Jika mengamati pos belanja daerah sejak tahun 2007, tampak sekali belanja pegawai terus melesat. Sebaliknya, belanja pembangunan alias belanja modal amat minim, bahkan ironisnya, menurun dari tahun ke tahun. Menurut data Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), sejak tahun 2007–2011, porsi belanja modal hanya 25%, sedangkan belanja pegawai plus barang dan jasa mencapai 65%. Sementara belanja lainnya 14%.
Tahun ini, belanja pegawai mencapai puncaknya, yakni 58% dari total anggaran. Sebaliknya, belanja modal tinggal 22%. "Semakin lama APBD kita itu tergerus untuk belanja pegawai, sementara belanja modal makin lama makin turun," keluh Manajer Hubungan Eksternal KPPOD Robert Endi Jaweng, Sabtu (17/7). Ia menegaskan, pemerintah bisa melakukan pengetatan penerimaan PNS di daerah dengan mengontrol alokasi dana alokasi umum (DAU). Selama ini, DAU merupakan sumber pendanaan daerah untuk belanja rutin daerah, seperti gaji PNS, juga untuk menutupi celah fiskal seperti belanja infrastruktur. Dilema otonomi daerah Tapi, karena tak ada pengaturan, daerah cenderung memakai DAU untuk biaya gaji PNS. Ditambah lagi, besarnya DAU yang diberikan itu tergantung dari kebutuhan daerah. Artinya, semakin tinggi kebutuhan pembiayaan gaji PNS, semakin tinggi pula alokasi DAU dari pusat. Inilah yang menyebabkan pemda bisa seenaknya melakukan perekrutan PNS. Toh, DAU menjamin tersedianya dana guna membayar gaji pegawai. Karena itu, DAU bisa menjadi instrumen pemerintah pusat mengendalikan jumlah PNS di daerah. Robert menyarankan, pusat mengatur batasan penggunaan DAU untuk gaji PNS. Tahun ini, porsi DAU dalam dana perimbangan atau dana yang ditransfer pemerintah pusat ke pemerintah daerah mencapai 57%. Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri Donny Moenek mengungkapkan, total dana perimbangan itu mencapai Rp 393 triliun atau seperempat dari belanja Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2011 yang Rp 1.230 triliun.
Menurutnya, pemerintah pusat bukannya tak membantu mengatur. Setiap tahun, melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Tata Cara Penyusunan APBD, pemerintah pusat selalu memberi batasan kenaikan belanja pegawai sebesar 2,5%. ”Namun, banyak daerah yang melanggar,” ujarnya. APBN memang mau tak mau terkuras untuk transfer ke daerah. Sebab, sampai kini pemda masih mengandalkan dana dari pusat. Rata-rata, porsi dana perimbangan jauh lebih besar ketimbang pendapatan asli daerah (PAD). Meski PAD mulai sedikit meningkat, namun porsi dana perimbangan tetap tinggi. Selama 2007–2011, rata-rata nasional dana perimbangan itu 73% dari APBD, sedang PAD hanya 17%, dan sumber pendapatan lainnya seperti utang pemerintah daerah sebanyak 10%. "Kalau lihat seperti ini, kita akan bertanya apakah otonomi di sisi kewenangan itu diikuti juga otonomi di sisi fiskal," kata Robert. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Edy Can