JAKARTA. Sebelum memutuskan untuk berinvestasi di reksadana, maka ada sejumlah hal yang harus dijadikan perhatian. Jika selama ini Anda membeli sebuah produk reksadana hanya memperhatikan perbandingan return produk yang bersangkutan dengan produk lainnya, atau dengan benchmark Indeks Harga Saham Gabungan, maka hal itu tidak selamanya tepat.Maya Kamdani, Head of Marketing BNP Paribas Investment Partners bilang, ada beberapa tolok ukur lain yang patut diperhatikan jika ingin membeli sebuah produk reksadana. "Salah satu yang paling mudah adalah dengan melihat sharpe ratio," imbuhnya, (12/12).Sekadar informasi saja, sharpe ratio merupakan perbandingan antara excess return portfolio dengan risiko portofolionya. Adapun rumus perhitungannya adalah, return reksadana (Rrd) dikurangi dengan risk free rate (RFR), kemudian hasilnya dibagi dengan standar deviasi (Srd) yang bisa digunakan dalam kurun waktu minimal satu tahun.Sebagai tambahan, RFR yang bisa digunakan adalah SBI dengan kurun waktu tertentu. Penggunaan ini bersifat opsional, ada pula yang menggunakan yield obligasi 5 tahun atau 10 tahun sebagai indikator.Untuk lebih jelasnya, ilustrasi berikut mungkin dapat memberikan gambaran. Misalnya ada reksadana A dan reksadana B yang memiliki return masing-masing 3,5% dan 3,25% selama kurun waktu 5 tahun. Lalu, hasil perhitungan sharpe ratio kedua produk tersebut memiliki hasil masing-masing 2,5% dan 2,75%.Nah, sepintas reksadana A terlihat baik karena memiliki return yang lebih tinggi. Tapi, jangan lupakan hasil perhitungan sharpe ratio, yang sebenarnya membuat reksadana B justru lebih menguntungkan."Karena semakin tinggi sharpe ratio malah makin bagus. Sharpe ratio yang rendah justru menunjukan reksadana A memiliki risiko yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan reksadana B," tutur Maya.Namun, perlu diingat, sharpe ratio ini hanya bisa digunakan untuk produk reksadana yang sudah memiliki umur minimal satu tahun. Pasalnya, jangka waktu satu tahun itu merupakan standar deviasi minimal yang paling ideal untuk mengukur kinerja sebuah reksadana."Jadi, kalau reksadana baru memang agak susah untuk mengukurnya, ya," jelas Maya.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Ingin beli reksadana? Jangan hanya andalkan return
JAKARTA. Sebelum memutuskan untuk berinvestasi di reksadana, maka ada sejumlah hal yang harus dijadikan perhatian. Jika selama ini Anda membeli sebuah produk reksadana hanya memperhatikan perbandingan return produk yang bersangkutan dengan produk lainnya, atau dengan benchmark Indeks Harga Saham Gabungan, maka hal itu tidak selamanya tepat.Maya Kamdani, Head of Marketing BNP Paribas Investment Partners bilang, ada beberapa tolok ukur lain yang patut diperhatikan jika ingin membeli sebuah produk reksadana. "Salah satu yang paling mudah adalah dengan melihat sharpe ratio," imbuhnya, (12/12).Sekadar informasi saja, sharpe ratio merupakan perbandingan antara excess return portfolio dengan risiko portofolionya. Adapun rumus perhitungannya adalah, return reksadana (Rrd) dikurangi dengan risk free rate (RFR), kemudian hasilnya dibagi dengan standar deviasi (Srd) yang bisa digunakan dalam kurun waktu minimal satu tahun.Sebagai tambahan, RFR yang bisa digunakan adalah SBI dengan kurun waktu tertentu. Penggunaan ini bersifat opsional, ada pula yang menggunakan yield obligasi 5 tahun atau 10 tahun sebagai indikator.Untuk lebih jelasnya, ilustrasi berikut mungkin dapat memberikan gambaran. Misalnya ada reksadana A dan reksadana B yang memiliki return masing-masing 3,5% dan 3,25% selama kurun waktu 5 tahun. Lalu, hasil perhitungan sharpe ratio kedua produk tersebut memiliki hasil masing-masing 2,5% dan 2,75%.Nah, sepintas reksadana A terlihat baik karena memiliki return yang lebih tinggi. Tapi, jangan lupakan hasil perhitungan sharpe ratio, yang sebenarnya membuat reksadana B justru lebih menguntungkan."Karena semakin tinggi sharpe ratio malah makin bagus. Sharpe ratio yang rendah justru menunjukan reksadana A memiliki risiko yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan reksadana B," tutur Maya.Namun, perlu diingat, sharpe ratio ini hanya bisa digunakan untuk produk reksadana yang sudah memiliki umur minimal satu tahun. Pasalnya, jangka waktu satu tahun itu merupakan standar deviasi minimal yang paling ideal untuk mengukur kinerja sebuah reksadana."Jadi, kalau reksadana baru memang agak susah untuk mengukurnya, ya," jelas Maya.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News