KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bursa Efek Indonesia (BEI) kedatangan banyak saham baru melalui penawaran umum saham perdana atau
initial public offering (IPO) pada awal tahun 2024. Dalam memilih saham IPO tentunya investor harus mempunyai pedoman agar saham yang dipilih sesuai dan tepat. Adapun tujuh emiten yang mencatatkan sahamnya di bursa tersebut di antaranya yaitu PT Asri Karya Lestari Tbk (
ASLI) PT Citra Nusantara Gemilang Tbk (
CGAS), PT Adhi Kartiko Pratama Tbk (
NICE), PT Multi Spunindo Jaya Tbk (
MSJA), PT Sinergi Multi Lestarindo Tbk (
SMLE), PT Samcro Hyosung Adilestari Tbk (
ACRO), PT Manggung Polahraya Tbk (
MANG). Akan tetapi, dari ketujuh emiten tersebut, sejauh ini empat di antaranya meliputi CGAS, NICE, MSJA, dan SMLE sahamnya tercatat naik di hari pertama perdagangan, dan tiga saham lainnya jeblok seperti ASLI, ACRO, dan MANG.
Dari ketiga emiten yang jeblok, sampai sesi pertama Rabu (17/1) hanya ACRO yang bisa bertahan di atas harga IPO sebesar Rp 108 - Rp 109 per saham.
Baca Juga: Berpotensi Raup Rp 879,91 Miliar, Intip Penggunaan Dana IPO Ancara Logistics (ALII) Head Customer Literation and Education Kiwoom Sekuritas Indonesia, Oktavianus Audi mengatakan, dalam memilih saham IPO investor perlu memperhatikan beberapa hal yang pertama, pengetahuan tentang bisnis emiten dan kinerja sebelumnya yang tertuang dalam prospektus. Kedua, investor harus memperhatikan tujuan perseroan dalam penggunaan dana hasil IPO, karena Audi melihat, dengan penggunaan untuk bagian capital expenditure dapat memberikan peluang bisnis jangka panjang. Ketiga, investor harus memperhatikan sektor dari emiten yang baru IPO tersebut. “Kami menilai investor perlu juga melihat background bisnis supaya dapat momentum pada cycleekonomi yang berlangsung,” ujar Audi kepada Kontan.co.id, Rabu (17/1). Audi menilai, meskipun dari ketujuh emiten baru tersebut ada yang mengalami oversubscribed atau kebanyakan permintaan tidak sertamerta menunjukkan performa yang bagus. “Investor tetap harus melihat kinerja keuangan dan melihat peluang bisnis di masa yang akan datang, bukan hanya bergantung pada pre IPO saja,” kata dia. Sementara terkait perbedaan saham IPO dengan saham-saham lama lainnya yaitu, Audi melihat kalau untuk saham IPO terdakang meningkatnya volatilitas disebabkan ketidakpastian tentang valuasi perusahaan, minat dari investor ritel atau institusi dan harga awal saham IPO ditentukan oleh perusahaan dan penasihat keuangan. “Sehingga saat sudah di pasar maka harga akan dibentuk oleh banyak faktor,” ujarnya. Sedangkan untuk saham-saham yang sudah lama, cenderung lebih stabil dan harga lebih banyak dibentuk oleh faktor-faktor yang terjadi di pasar, seperti makro ekonomi, industri dan kinerja emiten itu sendiri. Tak hanya itu, Audi juga menilai untuk sebuah emiten yang memutuskan akan IPO di Bursa, pastinya melakukan pertimbangan yang cukup banyak jika memang menargetkan capaian angka yang diinginkan terbilang jumbo.
Baca Juga: Ancara Logistics Indonesia (ALII) Gelar IPO, Pasang Harga Penawaran Rp 268-Rp 278 Hal tersebut seperti kondisi ekonomi baik global maupun dalam negeri, terlebih di tahun 2024 akan diadakannya pemilu Presiden, yang juga menjadi alasan mengapa lebih dominan penyerapan nominal IPO terbilang kecil. “Sehingga yang dikhawatirkan IPO hanya digunakan sebagai exit liquidity bukan sebagai bagian ekspansi emiten,” kata dia. Meski begitu, dia tetap memahami target dari BEI untuk membantu perusahaan-perusahaan agar dapat ekspansi dan branding di pasar modal. Namun, dia menghinbau kepada para investor untuk tetap memperhatikan keamanan para investor dengan lebih memperketat aturan emiten yang IPO, khususnya untuk kapitalisasi pasar perusahaan. Lebih lanjut, Audi menilai saham IPO yang paling menarik yaitu PT Adhi Kartiko Pratama Tbk (NICE) karena adanya potensi peningkatan produksi nikel di tengah tingginya demand nikel. Dengan begitu, menurutnya 100% pendapatan emiten masih ditopang pada penjualan bijih nikel kepada smelter. Sehingga investor diproyeksi selalu berada di zona aman. Selain itu, menurut dia, NICE memiliki serapan anggaran sebesar Rp 532,78 miliar atau yang terbesar jika dibandingkan emiten IPO lainnya sejauh ini, Rabu (17/1) dengan terjadi oversubscribed 15,72 kali. Adhi Kartiko Pratama juga dibantu oleh LX International perusahaan asal Korea Selatan yang mengakuisisi 60% atau sekitar Rp 1,59 triliun saham NICE. Sehingga hal itu dapat mendorong operasional emiten ke depannya serta mendorong peluang ekosistem baterai listrik. Selaras dengan hal ini, Analis PT Kanaka Hita Solvera (KHS) Andhika Cipta Labora mengatakan, dalam pemilihan saham IPO investor bisa melihat prospectus. Pasalnya, dengan melihat prospectus nantinya investor akan bisa melihat bagaimana kondisi fundamental Perusahaan. “Investor juga akan mengetahui dana yang didapatkan dari IPO digunakan untuk apa. Untuk modal usaha atau untuk ekpansi bisnis emiten, jika untuk ekspansi maka akan berdampak baik untuk emiten kedepannya,” ujar Andika kepada Kontan.co.id, Rabu (17/1). Di sisi lain, Andhika menilai bahwa terjadinya oversubscribed tidak bisa dijadikan patokan untuk menilai performa saham yang baru IPO bisa bagus kedepannya. Untuk hal ini, dia mengatakan investor bisa mengecek bagaimana kinerja perusahaan ke depannya. Terkait perbedaan saham IPO dengan saham-saham yang sudah lama, menurutnya untuk saham IPO di awal-awal hanya bersifat momentum euphoria market dan juga saham IPO tidak bisa terlalu banyak dibaca gerakannya secara teknikal. “Untuk saham yang sudah listing kita bisa tau teknikalnya dan juga bisa melihat history bagaimana fundamental Perusahaan melalui laporan keuangannya,” ujarnya. Selain itu, dia mengakui beberapa tahun ini banyak saham IPO yang pergerakan sahamnya jelek. Dengan begitu, dia menyarankan kepada BEI untuk melihat bagaimana history perusahaan yang akan listing, lalu juga laporan keuangannya dan juga mengecek asset perusahaannya.
“Hal ini nantinya bisa menjadikan patokan bursa dan para investor untuk melihat prospek emiten kedepannya,” kata dia. Kendati demikian, Andhika belum bisa menilai, saham mana yang paling menarik dari ketujuh emiten yang baru IPO tersebut, “Saya belum bisa menyebutkan, karena pergerakannya juga masih dikaji,” tutup Andika. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi