KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) resmi meluncurkan program Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT) pada Rabu, (6/12) di Jakarta. Targetnya program ini akan menyasar Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dari sektor informal. Lantaran sektor ini kerap sulit dapat KPR karena penghasilan yang tak tetap. "Masyarakat MBR informal ini kan sulit dapat KPR karena tidak punya penghasilan tetap, padahal kalau digabung pendapatan suami istrinya itu misalnya bisa melebihi syarat KPR," kata Dirjen Pembiayaan Perumahan, Kementerian PUPR Lana Winayanti, kepada Kontan.co.id seusai acara peluncuran Program BP2BT, Rabu (6/12) di Jakarta.
Secara umum, ada tiga komponen pembiayaan dalam BP2BT pertama dari pemohon di mana harus miliki dana 5% dari total harga rumah. Kedua, subsidi dari Kementerian PUPR hingga 38,8% harga rumah atau maksimal senilai Rp 32,4 juta, dan sisanya melalui kredit pembiayaan dari Bank pelaksana. "Jadi prosedurnya calon peserta ajukan permohonan terlebih dahulu kepada Satker BP2BT. Kemudian dia diminta menabung di bank pelaksana selama 6 bulan. Setelah tercapai saldo minimal yang ditentukan bank akan verifikasi apakah dia layak menerima subsidi atau tidak?" Jelas Lana. Keputusan kelayakan tersebut didasarkan dari besaran saldo minimal sesuai kelompok sasaran pendapatan peserta yang diatur dalam Keputusan Menteri PUPR 858/KPTS/M/2017, sebagai penilaian konsistensi menabung peserta Misalnya, pemohon yang berada di kelompok sasaran dengan penghasilan Rp 4 juta, maka selama 6 bulan menabung, saldo tabungan harus ada senilai Rp 2 juta untuk bisa dapatkan subsidi BP2BT. Setelah dinilai layak mendapatkan subsidi BP2BT, jika diperlukan pemohon harus menabung hingga dana di rekeningnya capai 5% harga rumah. Setelah dana di rekening mencapai 5% dan dinyatakan berhak menerima subsidi. Setelahnya pemohon dapat mencicil sisa kurang harga rumah kepada bank pelaksana dengan suku bunga pasar. Tiga jenis Direktur Perencanaan Pembiayaan Perumahan Kementerian PUPR Eko Heripoerwanto mengatakan soal besaran subsidi BP2BT akan tergantung dengan penghasilan pemohon. Hal tersebut juga ditentukan dalam Keputusan Menteri PUPR 858/KPTS/M/2017 Misalnya besaran maksimal sebesar Rp 32,4 juta hanya bisa didapatkan oleh pemohon yang berpenghasilan kurang dari Rp 3 juta. "Setiap penambahan penghasilan sebesar Rp 100 ribu, maka subsidi dikurangi Rp 200 ribu," kata Eko dalam kesempatan yang sama. Selain untuk mengatur subsidi, besaran penghasilan juga ditambahkan Eko jadi dasar untuk jenis properti yang dihendaki pemohon. Ada tiga jenis yang diatur yaitu untuk rumah tapak, rumah susun, dan pembangunan rumah swadaya. Ketentuan ini pun masih harus disesuaikan dengan sistem zonasi.
Sistem zonasi ini juga terbagi tiga, zona 1 yaitu Sumatera, Kep. Riau, Bangka Belitung, Jawa (kecuali Jabodetabek), dan Sulawesi. Zona 2 Kalimantan, Bali, Nusa Tenggara, Maluku Utara, dan Jabodetabek. Serta zona tiga Papua dan Papua Barat. Misalnya di zona 1 batas maksimal penghasilan per bulan pemohon untuk dapat miliki rumah tapak dan pembangunan rumah swadaya adalah Rp 6 juta. Sementara untuk rumah susun maksimal penghasilannya Rp 7 juta. "Termasuk juga diatur berapa harga maksimal rumah di masing-masing zona, luas tanahnya, luas bangunan itu diatur di Permen PUPR 18/PRT/M/2017," lanjut Eko. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto