JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hari ini, Rabu (19/11), meluncurkan kebijakan OJK dalam rangka penguatan pengawasan sektor jasa keuangan, pendalaman pasar keuangan, dan perluasan akses keuangan masyarakat. Ketua Dewan Komisioner OJK, Muliaman D. Hadad mengungkapkan, beralihnya fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan dari Bank Indonesia kepada OJK pada 31 Desember 2013, menjadi dimulainya era baru dalam pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan di Indonesia secara terintegrasi. Muliaman menjelaskan, di bidang perbankan, OJK merilis enam paket kebijakan. Pertama, Peraturan OJK (POJK) tentang Penerapan Tata Kelola Terintegrasi bagi Konglomerasi Keuangan. Aturan ini mengatur kewajiban bagi konglomerasi keuangan untuk menerapkan tata kelola secara terintegrasi yang pelaksanaannya dilakukan oleh entitas utama. "Untuk itu, entitas utama harus memiliki standar kelengkapan tata kelola di konglomerasi keuangannya, termasuk pengaturan tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris dan Direksi serta pembentukan Komite Tata Kelola Terintegrasi," jelas Muliaman di Gedung OJK, Jakarta, Rabu (19/11). Dalam aturan ini, diatur pula bahwa entitas utama juga wajib menyampaikan laporan hasil penilaian (self-assessment) mengenai pelaksanaan tata kelola di konglomerasi keuangannya. Kedua, adalah POJK tentang Penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi bagi Konglomerasi Keuangan. Aturan ini menetapkan kewajiban bagi konglomerasi keuangan untuk menyampaikan laporan mengenai anggota konglomerasi keuangan dan lembaga jasa keuangan yang ditetapkan menjadi entitas utama paling lambat pada tanggal 31 Maret 2015. "Entitas utama juga diwajibkan untuk mengintegrasikan penerapan standar manajemen risiko dalam konglomerasi keuangan tersebut. Selain itu, diatur mengenai penyampaian laporan semesteran profil risiko terintegrasi," kata Muliaman. Ketiga, adalah POJK tentang Layanan Keuangan Tanpa Kantor dalam Rangka Keuangan Inklusif atau disebut sebagai Laku Pandai. Aturan ini menetapkan persyaratan, perizinan, dan beberapa hal lainnya bagi bank yang akan menyediakan layanan keuangan tanpa kantor. Jenis layanan keuangan tanpa kantor yang disediakan adalah tabungan dengan karakteristik Basic Saving Account (BSA) dan penyaluran kredit/pembiayaan kepada nasabah mikro dengan jangka waktu paling lama setahun dan maksimum plafon kredit/pembiayaan Rp 20 juta. "Aturan ini juga memungkinkan masyarakat mendapatkan layanan keuangan yang lebih beragam melalui kerjasama antara agen tertentu dengan lembaga jasa keuangan selain dengan bank penyelenggara Laku Pandai, antara lain dengan perusahaan asuransi atau perusahaan penerbit uang elektronik," jelas Muliaman. Keempat, yaitu POJK tentang Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Aturan ini menetapkan beberapa aspek terkait pendirian dan operasional BPR, yakni: a. Penetapan jumlah modal disetor dalam rangka pendirian BPR yang akan dibagi dalam 4 (empat) zona wilayah operasi BPR. b. Mekanisme perizinan BPR yang mencakup percepatan jangka waktu persetujuan atau penolakan persetujuan prinsip dan izin usaha yang sebelumnya adalah 60 (enam puluh) hari kerja menjadi 40 (empat puluh) hari kerja. Proses perizinan seluruhnya akan dilakukan secara terpusat. c. Penataan porsi kepemilikan pemegang saham pengendali BPR, yakni setiap BPR wajib memiliki paling kurang 1 (satu) pemegang saham dengan persentase kepemilikan saham sekurang-kurangnya 25%. Dengan demikian akan mendorong komitmen pemegang saham pengendali dalam mengembangkan usaha BPR. d. Persyaratan kompetensi yang harus dimiliki oleh pengurus BPR, larangan perangkapan jabatan bagi pengurus, dan pembatasan hubungan keluarga di antara pengurus. e. Kemudahan pembukaan jaringan kantor oleh BPR sesuai dengan tingkat kesehatannya. f. Mekanisme pencabutan izin usaha atas permintaan pemegang saham BPR (self-liquidation). Kelima, adalah POJK tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) Perbankan Syariah. Aturan ini menetapkan persyaratan mengenai: a. Penyediaan modal minimum bank sesuai dengan profil risikonya, dengan besaran antara 8% sampai dengan 14%. b. Penyediaan modal minimum bank yang terdiri atas modal inti dan tambahan modal sebagai penyangga. c. Modal inti yang ditetapkan minimal sebesar 6%, dengan modal inti utama minimal 4,5%. d. Tambahan modal sebagai penyangga yang dapat berupa Capital Conservation Buffer, Countercyclical Buffer, dan Capital Surcharge. Ketentuan tambahan modal penyangga berlaku mulai 1 Januari 2016. Keenam, adalah POJK tentang Kualitas Aset Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. Aturan ini menetapkan tata cara penilaian kualitas aset produktif maupun nonproduktif serta kewajiban pembentukan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) sesuai standar akuntansi yang berlaku. "Selain itu, juga diatur mengenai kelonggaran penilaian kualitas pembiayaan berbasis bagi hasil (mudharabah dan musyarakah) guna mendorong pembiayaan syariah," ujar Muliaman.
Ini 6 aturan baru OJK untuk industri perbankan
JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hari ini, Rabu (19/11), meluncurkan kebijakan OJK dalam rangka penguatan pengawasan sektor jasa keuangan, pendalaman pasar keuangan, dan perluasan akses keuangan masyarakat. Ketua Dewan Komisioner OJK, Muliaman D. Hadad mengungkapkan, beralihnya fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan dari Bank Indonesia kepada OJK pada 31 Desember 2013, menjadi dimulainya era baru dalam pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan di Indonesia secara terintegrasi. Muliaman menjelaskan, di bidang perbankan, OJK merilis enam paket kebijakan. Pertama, Peraturan OJK (POJK) tentang Penerapan Tata Kelola Terintegrasi bagi Konglomerasi Keuangan. Aturan ini mengatur kewajiban bagi konglomerasi keuangan untuk menerapkan tata kelola secara terintegrasi yang pelaksanaannya dilakukan oleh entitas utama. "Untuk itu, entitas utama harus memiliki standar kelengkapan tata kelola di konglomerasi keuangannya, termasuk pengaturan tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris dan Direksi serta pembentukan Komite Tata Kelola Terintegrasi," jelas Muliaman di Gedung OJK, Jakarta, Rabu (19/11). Dalam aturan ini, diatur pula bahwa entitas utama juga wajib menyampaikan laporan hasil penilaian (self-assessment) mengenai pelaksanaan tata kelola di konglomerasi keuangannya. Kedua, adalah POJK tentang Penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi bagi Konglomerasi Keuangan. Aturan ini menetapkan kewajiban bagi konglomerasi keuangan untuk menyampaikan laporan mengenai anggota konglomerasi keuangan dan lembaga jasa keuangan yang ditetapkan menjadi entitas utama paling lambat pada tanggal 31 Maret 2015. "Entitas utama juga diwajibkan untuk mengintegrasikan penerapan standar manajemen risiko dalam konglomerasi keuangan tersebut. Selain itu, diatur mengenai penyampaian laporan semesteran profil risiko terintegrasi," kata Muliaman. Ketiga, adalah POJK tentang Layanan Keuangan Tanpa Kantor dalam Rangka Keuangan Inklusif atau disebut sebagai Laku Pandai. Aturan ini menetapkan persyaratan, perizinan, dan beberapa hal lainnya bagi bank yang akan menyediakan layanan keuangan tanpa kantor. Jenis layanan keuangan tanpa kantor yang disediakan adalah tabungan dengan karakteristik Basic Saving Account (BSA) dan penyaluran kredit/pembiayaan kepada nasabah mikro dengan jangka waktu paling lama setahun dan maksimum plafon kredit/pembiayaan Rp 20 juta. "Aturan ini juga memungkinkan masyarakat mendapatkan layanan keuangan yang lebih beragam melalui kerjasama antara agen tertentu dengan lembaga jasa keuangan selain dengan bank penyelenggara Laku Pandai, antara lain dengan perusahaan asuransi atau perusahaan penerbit uang elektronik," jelas Muliaman. Keempat, yaitu POJK tentang Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Aturan ini menetapkan beberapa aspek terkait pendirian dan operasional BPR, yakni: a. Penetapan jumlah modal disetor dalam rangka pendirian BPR yang akan dibagi dalam 4 (empat) zona wilayah operasi BPR. b. Mekanisme perizinan BPR yang mencakup percepatan jangka waktu persetujuan atau penolakan persetujuan prinsip dan izin usaha yang sebelumnya adalah 60 (enam puluh) hari kerja menjadi 40 (empat puluh) hari kerja. Proses perizinan seluruhnya akan dilakukan secara terpusat. c. Penataan porsi kepemilikan pemegang saham pengendali BPR, yakni setiap BPR wajib memiliki paling kurang 1 (satu) pemegang saham dengan persentase kepemilikan saham sekurang-kurangnya 25%. Dengan demikian akan mendorong komitmen pemegang saham pengendali dalam mengembangkan usaha BPR. d. Persyaratan kompetensi yang harus dimiliki oleh pengurus BPR, larangan perangkapan jabatan bagi pengurus, dan pembatasan hubungan keluarga di antara pengurus. e. Kemudahan pembukaan jaringan kantor oleh BPR sesuai dengan tingkat kesehatannya. f. Mekanisme pencabutan izin usaha atas permintaan pemegang saham BPR (self-liquidation). Kelima, adalah POJK tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) Perbankan Syariah. Aturan ini menetapkan persyaratan mengenai: a. Penyediaan modal minimum bank sesuai dengan profil risikonya, dengan besaran antara 8% sampai dengan 14%. b. Penyediaan modal minimum bank yang terdiri atas modal inti dan tambahan modal sebagai penyangga. c. Modal inti yang ditetapkan minimal sebesar 6%, dengan modal inti utama minimal 4,5%. d. Tambahan modal sebagai penyangga yang dapat berupa Capital Conservation Buffer, Countercyclical Buffer, dan Capital Surcharge. Ketentuan tambahan modal penyangga berlaku mulai 1 Januari 2016. Keenam, adalah POJK tentang Kualitas Aset Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. Aturan ini menetapkan tata cara penilaian kualitas aset produktif maupun nonproduktif serta kewajiban pembentukan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) sesuai standar akuntansi yang berlaku. "Selain itu, juga diatur mengenai kelonggaran penilaian kualitas pembiayaan berbasis bagi hasil (mudharabah dan musyarakah) guna mendorong pembiayaan syariah," ujar Muliaman.