Ini akibat invisible hand di perbankan tak jalan



JAKARTA. Mei 2013, kekuasaan Gubernur BI Darmin Nasution akan berakhir. Jika ia tak lagi bersedia dicalonkan lagi, ini menjadi  saat-saat krusial baginya untuk meninggalkan warisan berharga bagi industri. Dengan latar seperti inilah, acara Banker’s Dinner Jumat pekan lalu terasa agak berbeda.  Ia menggebrak dengan kebijakan baru yang lebih keras dan menohok.

Penyabet gelar Doktor Ekonomi dari Universitas Paris, Sorbonne, Prancis langsung menggelontorkan sembilan kebijakan baru. Semua kebijakan bank sentral tersebut berlaku efektif mulai tahun depan.    

Sembilan kebijakan ini sebagian besar melanjutkan regulasi  yang lahir lebih dulu. Yang tumpul dipertajam dan kurang efektif dibenahi. Bidikannya tetap sama: efisiensi bank, perbaikan tata kelola, penguatan modal dan peningkatan kontribusi bank terhadap perekonomian. Semuanya saling terkait.


Misalnya target efisiensi dan penguatan modal. BI membidik lewat aturan multilisensi. Pesan beleid ini jelas, bank bermodal kuat dan efisien boleh bisnis apa saja dan bebas ekspansi ke mana saja. Sebaliknya, bank bermodal pas-pasan dan tidak efisien, ruang geraknya terbatas. Mereka tidak mudah ekspansi. Jadi ada punishment dan reward.

Dalam memproses izin ekspansi atau jual produk, BI mengacu ke beberapa komponen penilaian. Paling utama adalah modal. Begitu juga permohonan membangun cabang baru. “Intinya, kalau ingin ekspansi, modal sendiri harus kuat. Jangan sampai bank jor-joran membangun cabang, tapi biaya dibebankan ke neraca (biaya operasional). Akhirnya, debitur yang terbebani dalam bentuk bunga kredit tinggi,” kata Irwan Lubis, Direktur Penelitian dan Pengaturan Perbankan BI

Setelah modal oke, BI masuk ke komponen net interest margin (NIM) dan biaya operasional (BOPO). Keduanya alat ukur efisiensi. Meski modal besar, bank tak gampang ekspansi. Mereka juga harus efisien. “Kami tak bisa mengatur secara kaku, karena case setiap bank berbeda,” kata Pungky Purnomo Wibowo, Deputi Direktur Pengaturan BI

Bank pemilik NIM dan BOPO tinggi, bakal sulit meraih izin. Misalnya mereka ingin membuka 100 cabang tahun depan, bisa saja yang diizinkan hanya separuh. Terkecuali, mereka berjanji menurunkan NIM bertahap dengan target ketat. “Kalau mau untung, perbesar volume kredit, Jangan mau untung besar dari bunga tinggi,” kata Irwan.

Bank ber-NIM tinggi tetap boleh ekspansi, tapi dengan beberapa syarat. Antara lain, alokasi kredit mikro cukup besar, berkontribusi terhadap sector riil, punya strategi penurunan bunga dan memperbesar alokasi laba ditahan untuk ekspansi.

Selain mengancam bank boros dengan mempersulit izin, BI juga menekan dari jalur lain: pemberlakuan suku bunga dasar kredit (SBDK) mikro. Bank harus mempublikasikan komponen bunga kredit mikro, seperti biaya dana, biaya operasional, margin dan premi risiko. Dengan membuka dapurnya,   akan terlihat seberapa wajar bank menginjak nasabah kecil.

Yang paling signifikan, kebijakan alokasi kredit ke sektor produktif. BI menetapkan, bank di BUKU 1 atau strata terendah, wajib mengalokasikan 55% dari total kreditnya ke sektor produktif.

Sedangkan di BUKU 4, atau bermodal paling besar, harus mendistribusikan 70%. Dari total kredit produktif itu, bank harus membagi 20% ke sektor UMKM. Ketentuan berlaku untuk semua kelompok bank, termasuk bank asing.

Kredit produktif adalah kredit investasi dan modal kerja. Sedangkan definisi kredit UMKM diperluas, dengan mengacu ke size usaha dan omzet. Begitupula jenis penggunaan. Bank asing yang membiayai ekspor, dapat diperhitungkan sebagai kredit produktif dan UMKM. “Tak ada alasan bank asing tak mampu menyalurkan kredit produktif dan UMKM. Mereka bisa garap trade finance,” kata Pungky.

Kalau tidak mampu karena minim jarangan dan tidak punya keahlian, bank harus menggandeng BPR, lembaga mikro dan koperasi. Disinilah, BI memagari keberlangsungan BPR dan lembaga mikro lain. “Bank umum berlomba gelontorkan dana, suplai dana melimpah. Ini dapat menekan biaya dana BPR dan menguntungkan debitur mikro,” kata Pungky.

Di atas kertas, ketentuan ini menjanjikan. Tapi juga menyimpan bom waktu. Ada dua hal yang mesti diwaspadai. Satu, pematokan kredit produktif dalam persentase tertentu akan mematikan kreativitas bank dalam menyalurkan dana. Apalagi, krisis global belum jelas kapan selesai, bank sangat berharap ke kredit konsumsi.

Dua, kesiapan UMKM menyerap dana bank. Jika debitur tidak siap, dana menganggur meningkat dan ditempatkan kembali di BI. Atau bank tetap memaksakan diri menyalurkan dana, sehingga menabrak aspek kehati-hatian. Jika opsi kedua yang dipilih, rasio NPL bisa melonjak.

Terlepas dari sisi negatif itu, kebijakan BI patut diapresiasi. Industri harus diatur, karena gagal memperbaiki diri sendiri. “Di era Darmin, BI berdiri di atas prinsip: tak ada invisible hand di perbankan,” kata Difi Johansyah, Jurubicara BI.   

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Asnil Amri