Ini Alasan BRI Memilih Model Bisnis Secara Hybrid



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Bank Rakyat Indonesia Tbk fokus mengembangkan bisnisnya dengan model hybrid. Bank ini bukan tidak tertarik masuk ke bank digital, namun profil nasabah perseroan banyak berasal dari masyarakat bawah dan dari pedesaan yang belum melek digital.

Apalagi, strategi bisnis BRI memang fokus untuk tumbuh dengan fokus menyasar segmen mikro dan ultra mikro sebagai sumber pertumbuhan. Karakteristik nasabah atau pelaku usaha di segmen ini berbeda dengan segmen lainnya. 

"Hybrid bank adalah konsep yang paling ideal menurut BRI. Itu sudah kami buktikan dengan konsep keagenan dimana BRI tetap hadir secara konvensional melayani kebutuhan masyarakat tetapi sebagai proses bisnisnya sudah didigitalkan. Agen sudah kami siapkan platform digital, tetapi dia tetap bertatap muka dengan nasabah dengan menggunakan human touching," jelas Sunarso Direktur Utama BRI, Kamis (26/1).


Berdasarkan riset BRI, ada tujuh karakteristik nasabah mikro dan ultramikro. Pertama, mereka sudah familiar dengan platform digital walau penetrasi smartphone tetap rendah. Kedua, mereka memiliki keterbatasan pengetahuan tentang produk keuangan selain simpanan.

Baca Juga: Pacu Bisnis Konsumer, BNI Gandeng LOTTE Mart Rilis Kartu Kredit Nir Sentuh

Ketiga, uang tunai masih jadi metode transaksi yang paling dominan. Keempat,  mereka membutuhkan lembaga keuangan yang locally embedded (terintegrasi secara lokal) dan dapat mereka percaya.

"Ini maksudnya bukan bank lokal, tetapi bank nasional seperti BRI yang kehadirannya sudah sampai ke daerah-daerah," jelas Sunarso.

Kelima, lebih dari 50% masyarakat di segmen tersebut tidak punya penghasilan stabil. Keenam, mereka lebih menyukai model agen banking lebih disukai dari bank digital. Ketujuh, mereka terbuka terhadap tawaran produk selain simpanan untuk membantu pertumbuhan bisnis.

BRI melihat digitalisasi sangat diperlukan karena perkembangan masyarakat sudah semakin digital savvy. Namun, dengan melihat karakteristik target market tersebut maka hanya model hybrid bank yang paling tepat dijalankan BRI.

Sunarso menambahkan, transformasi digital yang dilakukan BRI tidak akan menyebabkan pemangkasan karyawan. Orang-orang yang sebelumnya bekerja di front office akan didorong menjadi penyuluh-penyuluh digital.

Tugas mereka ada tiga hal, mengajari nasabah membuka rekening secara digital, mengajari masyarakat transaksi secara digital, dan melakukan edukasi terkait keamanan data pribadi. 

"Saat kita pindah ke layanan digital, maling juga akan jadi maling digital, begal akan jadi begal digital, makanya kita perlu secara kolaboratif mengajari masyarakat untuk amankan rekeningnya," jelas Sunarso.

Baca Juga: Siap Tampung DHE Pengekspor, BRI Bakal Sesuaikan Bunga Deposito Valas

Sunarso bilang, ada dua sisi negatif segmen microfinance, yakni memiliki biaya operasional yang tinggi dan resiko operasionalnya juga tinggi. Menurutnya, digitalisasi merupakan jawaban untuk mengatasi permasalahan itu.

 Untuk memasuki area digitalisasi, BRI tidak akan bisa jika tidak punya big data analisis mengingat target marketnya di segmen mikro dan ultra mikro. Untuk itu, BRI telah mengembangkan infrastrukturnya.

"BRI telah terjun ke seluruh desa di Indonesia untuk memetakan pasar dan kami beri kode dengan nama BRIKodes. Tidak hanya desa, kelurahan juga diberi nama BRIkodes. Dari sini kemudian BRI bisa melakukan strategi bisnis yang tepat ketika terjun ke suatu wilayah apakah sudah bisa memakai layanan digital atau masih perlu human touching," pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tendi Mahadi