JAKARTA. Kawasan barat Jakarta masih dianggap sebagai primadona oleh para pengembang properti. Maklum, kawasan tersebut dinilai mampu menciptakan sebuah proyek properti yang terintegrasi dan multifungsi yang terdiri dari beragam jenis, mulai dari hunian, komersial, hotel, hingga fasilitas pendidikan dan kesehatan. Di barat Jakarta, mulai dari kawasan Cipondoh, Serpong, Maja, hingga pusat Kota Tangerang memiliki akses infrastruktur dan transportasi umum yang cukup memadai. Bukan hanya untuk properti hunian vertikal, tapi juga pengembangan landed house alias rumah tapak. Ferry Salanto, Senior Associate Director Colliers menilai, sebagai pusat pemerintahan dan perekonomian, Jakarta memang menjadi kota yang paling padat penduduknya.
Padatnya populasi penduduk membuat lahan di Ibu Kota semakin langka. Meskipun ada lahan di Jakarta untuk membangun rumah tapak, namun ketersediaannya terpencar. Dengan begitu, sulit untuk dijadikan program hunian dari pemerintah bagi masyarakat. Dengan kondisi tersebut, para pengembang pun sulit mencari land bank atau lahan kosong untuk mengembangkan rumah tapak. Jadi, pilihan yang logis adalah kawasan yang menjadi satelit Jakarta. Salah satunya kawasan barat Jakarta. Bagi para pengembang, kata Ferry, selama lahannya masih tersedia tidak pernah ada kata jenuh untuk berkompetisi memasarkan rumah tapak di kawasan barat Jakarta. "Kalau kebutuhan rumah tidak ada jenuhnya. Kebutuhan itu tetap ada. Yang masalah itu barangnya ada atau tidak, dan daya belinya bagaimana. Kalau dua faktor itu bisa terpenuhi, tidak ada kata jenuh membangun rumah tapak di wilayah manapun," kata Ferry kepada Tabloid KONTAN. Ferry mengakui, harga properti memang selalu naik tiap tahunnya. Ini terutama di kawasan yang sudah terlihat kemajuan dari sisi infrastrukturnya. Namun, pihak pengembang tetap harus menyesuaikan harga jual dengan kemampuan konsumen. Persoalannya, kenaikan harga properti kerap dipicu melonjaknya harga lahan. Nah, menurut Ferry, yang membuat harga lahan bergerak liar adalah para spekulan tanah. Ferry menilai, jika dari awal pihak pengembang sudah menguasai lahan yang cukup besar, maka harga jual propertinya bisa masuk dengan kemampuan konsumen. Oleh karena itu, Ferry meminta pemerintah campur tangan dalam mematok harga lahan agar tidak terlalu melejit tinggi. "Masalahnya, ketika di sebuah daerah sudah ada terlihat ada pembangunan jalan, tol, dan infrastruktur penunjang lainnya, para spekulan tanah bermain di situ. Nah, ini yang membuat harga tanah tidak sesuai dengan nilai pasarnya, sehingga harga rumah jadi tinggi. Padahal, rumah itu belum jadi dan menghasilkan sesuatu buat pengembang," imbuh dia. Untuk saat ini, Ferry menambahkan, para pengembang yang membangun properti di Jabodetabek memang cenderung lebih memilih kawasan barat dan timur Jakarta untuk ekspansi bisnisnya. Meski di barat Jakarta terbilang sudah disesaki para pebisnis properti, wilayah ini yang paling memungkinkan untuk menyediakan rumah tapak bagi masyarakat.
Sementara itu, di kawasan selatan Jakarta, yang masih mungkin menyediakan lahan untuk rumah tapak adalah daerah Sentul, Bogor. Di wilayah ini, infrastrukturnya terbilang bagus. Contohnya jalan tol dan transportasi umum yang sudah terintegrasi dengan Ibu Kota. Cuma, lahan di daerah Sentul juga sudah tidak realistis. Sedangkan harga lahan di barat Jakarta seperti di Mauk dan Maja Tangerang, kata Ferry, masih realistis bagi kantong pengembang. Dengan harga land bank yang terjangkau, pengembang bisa memasarkan harga rumah tapak yang sesuai kemampuan konsumen. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Dikky Setiawan