JAKARTA. Kementerian Agama bersikeras menganggap menerbitkan sertifikasi halal merupakan wilayah kewenangannya. Oleh karena itu, aturan yang akan disusun dalam Rancangan Undang-undang Jaminan Produk Halal harus menguatkan hal tersebut. Apa yang membuat Kementerian Agama memiliki pandangan demikian? "Pemerintah itu kan pelaksana undang-undang, tidak ada ormas sebagai pelaksana undang-undang. Karena sertifikasi halal itu berkaitan dengan hukum, maka otoritas pelaksananya harus ada pada pemerintah," ujar Menteri Agama Suryadharma Ali di Kantor Presiden, Kamis (27/2/2014). Ia mengakui bahwa pandangan ini berbeda dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI). MUI menyatakan, sertifikasi halal merupakan kewenangan karena MUI adalah satu-satunya lembaga yang bisa mengeluarkan fatwa. Menurut Suryadharma, jika MUI diberikan otoritas tunggal, maka akan menimbulkan kecemburuan organisasi kemasyarakatan (ormas) lain. "Nanti NU mau, Muhammadiyah mau, Persis mau. Jadi kan enggak bagus, masak ada satu aturan kemudian otoritas pelaksananya lebih dari satu? Karena itu, harus diberikan kepada pemerintahan," ucap Suryadharma. Ketua Umum DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu mengungkapkan, MUI akan tetap dilibatkan dalam proses sertifikasi produk halal, yakni dalam hal memberikan rekomendasi. Namun, pihak yang menerbitkan sertifikat itu tetap pemerintah. Terkait lembaga pengujinya, Suryadharma mengatakan, pemerintah mengusulkan agar pengujian dilakukan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Akan tetapi, hal ini kembali mendapat tentangan MUI yang meminta agar pengujian dilakukan LPPOM milik MUI. Dengan adanya perbedaan sikap antara Kemenag dan MUI ini, Suryadharma mengaku tak memiliki jalan tengah yang bisa diambil sebagai solusinya. Seperti diberitakan, masalah pemberian sertifikasi halal masih menuai sorotan. RUU Jaminan Produk Halal yang diusulkan atas inisiatif DPR sejak 2006 belum juga diselesaikan pembahasannya hingga akhir masa tugas periode 2009-2014. Selain mengatur mengenai tarif dan PNBP, RUU itu juga akan mengatur mengenai lembaga yang akan memberikan sertifikasi halal. Usulan mengenai lembaga inilah yang menciptakan perdebatan panjang di internal Komisi VII maupun dengan pemerintah dan akhirnya RUU tersebut tak kunjung disahkan menjadi undang-undang. (Sabrina Asril)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Ini alasan Kemenag mau urusi sertifikasi halal
JAKARTA. Kementerian Agama bersikeras menganggap menerbitkan sertifikasi halal merupakan wilayah kewenangannya. Oleh karena itu, aturan yang akan disusun dalam Rancangan Undang-undang Jaminan Produk Halal harus menguatkan hal tersebut. Apa yang membuat Kementerian Agama memiliki pandangan demikian? "Pemerintah itu kan pelaksana undang-undang, tidak ada ormas sebagai pelaksana undang-undang. Karena sertifikasi halal itu berkaitan dengan hukum, maka otoritas pelaksananya harus ada pada pemerintah," ujar Menteri Agama Suryadharma Ali di Kantor Presiden, Kamis (27/2/2014). Ia mengakui bahwa pandangan ini berbeda dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI). MUI menyatakan, sertifikasi halal merupakan kewenangan karena MUI adalah satu-satunya lembaga yang bisa mengeluarkan fatwa. Menurut Suryadharma, jika MUI diberikan otoritas tunggal, maka akan menimbulkan kecemburuan organisasi kemasyarakatan (ormas) lain. "Nanti NU mau, Muhammadiyah mau, Persis mau. Jadi kan enggak bagus, masak ada satu aturan kemudian otoritas pelaksananya lebih dari satu? Karena itu, harus diberikan kepada pemerintahan," ucap Suryadharma. Ketua Umum DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu mengungkapkan, MUI akan tetap dilibatkan dalam proses sertifikasi produk halal, yakni dalam hal memberikan rekomendasi. Namun, pihak yang menerbitkan sertifikat itu tetap pemerintah. Terkait lembaga pengujinya, Suryadharma mengatakan, pemerintah mengusulkan agar pengujian dilakukan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Akan tetapi, hal ini kembali mendapat tentangan MUI yang meminta agar pengujian dilakukan LPPOM milik MUI. Dengan adanya perbedaan sikap antara Kemenag dan MUI ini, Suryadharma mengaku tak memiliki jalan tengah yang bisa diambil sebagai solusinya. Seperti diberitakan, masalah pemberian sertifikasi halal masih menuai sorotan. RUU Jaminan Produk Halal yang diusulkan atas inisiatif DPR sejak 2006 belum juga diselesaikan pembahasannya hingga akhir masa tugas periode 2009-2014. Selain mengatur mengenai tarif dan PNBP, RUU itu juga akan mengatur mengenai lembaga yang akan memberikan sertifikasi halal. Usulan mengenai lembaga inilah yang menciptakan perdebatan panjang di internal Komisi VII maupun dengan pemerintah dan akhirnya RUU tersebut tak kunjung disahkan menjadi undang-undang. (Sabrina Asril)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News