Ini alasan masyarakat masih menahan daya beli



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, konsumsi rumah tangga periode Juli-September 2017 tumbuh 4,93% year on year. Angka itu melambat dibanding kuartal ketiga 2016 yang sebesar 5,01% yoy dan dibanding kuartal kedua 2017 yang sebesar 4,95% yoy.

Menurut para ekonom, penyebab pelemahan konsumsi rumah tangga adalah belum ada dampak yang terasa dari kenaikan harga komoditas yang baru terjadi pada awal tahun ini. Masyarakat pun lebih cenderung menyimpan uangnya lantaran ke depannya harga komoditas masih tak menentu.

Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede melihat, faktanya masyarakat desil 5-10 (kesejahteraan menengah-tinggi) menahan konsumsi. Hal ini tampak dari dana simpanan dana di perbankan.


“Mereka dapat earnings dari naiknya harga komoditas, tapi perilakunya berubah karena mereka melihat harga komoditas masih tak menentu. Jadi, mereka menahan tetapi bukan daya beli turun,” kata Josua di Gedung Kementerian Keuangan, Selasa (7/11).

Menurut Josua, dalam hal ini perlu dilihat bukan dari konsumsi riilnya melainkan pendapatan riilnya. “Buruh tani dan bangunan memang turun, jadi yang terpengaruh yang 40% terbawah itu,” ucapnya.

Ekonom DBS Gundy Cahyadi mengatakan, dalam hal konsumsi rumah tangga, dirinya melihat ada perbedaan antara konsumsi barang yang diinginkan (discretionary) dan non discretionary atau konsumsi barang yang diperlukan

“Untuk barang yang kita perlu sebenarnya baik, tapi untuk barang yang kita mau itu yang lemah. Jadi, memang ada dampak dari harga komoditas,” kata dia.

Ia mengakui, daya beli memang mengalami sedikit softening. Pasalnya, pertumbuhan pendapatannya (wage growth) relatif rendah dan masih belum ditopang kenaikan harga komoditas. “Biasanya harga komoditas naik, earnings-nya naik. Translasinya ke wage growth, tapi kami belum lihat di 2017,” ujarnya.

Josua mengatakan, diharapkan program Padat Karya Tunai yang baru saja dicanangkan Presiden Joko Widodo bisa dorong dan jaga daya beli di tahun depan. Adapun stimulus pembebasan PPN bisa saja dilakukan, tetapi sikonnya belum memungkinkan.

“Ada potensi shortfall penerimaan pajak sementara infrastruktur pembangunannya masih didorong, bansos, makanya ruangnya terbatas,” kata Josua.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sanny Cicilia