Ini alasan penangkapan kepiting & lobster dibatasi



JAKARTA. Populasi lobster (Panulirus), kepiting (Scylla), dan rajungan (Portunus) yang terus mengalami penurunan di berbagai wilayah di Tanah Air menjadi alasan bagi Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menerbitkan Permen-KP No.1 tahun 2015 tentang penangkapan lobster, kepiting dan rajungan.

Dalam rangka menjada keberadaan dan ketersediaan ketiga stok tersebut, maka KKP menerbitkan aturan pembatasan penangkapan dan penjualan lobster, kepiting dan rajungan dengan ukuran tertentu. Aturan itu juga melarang penangkapan ketiga spesies ini yang dalam kondisi bertelur. Tujuannya adalah agar diberikan kesempatan untuk menetaskan telurnya dan menambah jumlah habitat yang sudah terancam punah.

Untuk memperjelas aturan teknis kebijakan ini, maka Susi menerbitkan Surat Edaran Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18/MEN-KP/I/2015 tentang penangkapan lobster, kepiting, dan rajungan, Rabu (21/1). Dimana dalam surat edaran itu, Susi memberlakukan peraturan ini secara bertahap.


Tahap pertama yakni pada Januari 2015-Desember 2015 lobster dan kepiting yang boleh ditangkap dan diperjualbelikan minimal beratnya di atas 200 gram, rajungan di atas 55 gram dan kepiting soka di atas 150 gram. 

Periode kedua untuk Januari 2016 dan seterusnya, lobster yang boleh ditangkap memiliki panjang karapas di atas 8 cm dan beratnya di atas 300 gram. Kepiting dengan lebar karapas di atas 15 cm dan berat di atas 350 gram serta rajungan dengan lebar karapas di atas 10 cm dan berat di atas 55 gram.

Namun aturan ini ditolak para pelaku usaha perikanan, termasuk pemerintah daerah penghasil lobster terbesar di Indonesia yakni Nusa Tenggara Barat. Gubernur NTB M.Zainul Majdi meminta KKP merevisi atau merubah aturan ini. Khususnya pasal 3 yang isinya soal ukuran lobster yang dapat ditangkap tidak boleh di bawah 8 cm, dan benih lobster tidak boleh ditangkap di bawah 5 cm. 

Zainul beralasan di daerahnya ada 2.000 nelayan yang melakukan usaha penangkapan benih Lobster dengan hasil tangkapan 10 juta ekor setiap tahun. Nilai hasil tangkapan itu mencapai Rp 200 miliar per tahun. Sedangkan jumlah pembudidaya lobster mencapai 778 orang. 

Selain itu, pemerintah NTB klaim Zainul juga melakukan upaya pengelolaan dan pelestarian sumberdaya lobster dengan pengendalian dan pemanfaatan indus Lobster dan menginisiasi beberapa arca penangkapan benih Lobster sebagai kawasan konservasi perairan untuk melindungai dna menjaga stok populasi lobster dan benihnya.

Sementara itu, dalam rapat dengar pendapat dengan komisi IV DPR, Rabu (21/1), Sekretaris Jenderal Asosiasi Budidaya Ikan Laut Indonesia (Abilindo) Wajan Sudja mengatakan akibat penerbitan permen No.1 tahun 2015 ini,  setiap tahun, pembudidaya kerapu kehilangan potensi ekspor sebanyak 4.6000 ton dengan nilai US$ 45 juta setiap tahunnya. 

"Produksi dan ekspor ikan kerapu merupakan sumber devisi negara yang juga menghidupi lebih dari 100.000 kepala keluarga di negara ini," ujar Wajan

Ia mengatakan sejak terbitnya permen No.57 tahun 2014 pada Desember 2014 lalu yang melarang bongkar muat di tengah laut atawa transhipment, para pembudidaya ikan tidak dapat lagi melakukan ekspor. Sementara ekspor ke pembeli (buyers) dengan pengiriman via udara berbiaya terlalu tinggi. Bila peraturan itu tidak dicabut, maka produksi ikan kerapu tidak dapat dipasarkan dan lebih dari 100.000 produsen lokal terancam kebangkrutan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Uji Agung Santosa