Ini Alasan Uni Eropa Gugat Indonesia di WTO



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Potensi Indonesia kalah terhadap gugatan Uni Eropa di Word Trade Organization (WTO) makin hangat dibicarakan belakangan ini. Gugatan ini berawal dari sikap pemerintah yang melarang ekspor bahan mentah mineral yakni bijih nikel untuk mengembangkan hilirisasi produk di dalam negeri.

Pengamat Perdagangan Internasional, Deny W Kurnia menjelaskan, WTO didirikan 1995 yang sebelumnya adalah General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) yang aturannya dikembangkan sejak tahun 70-80an.

Kemudian dalam perjanjian putaran Uruguay, peran dan fungsi GATT digantikan oleh WTO. Deny memaparkan, organisasi ini didesain oleh negara-negara yang sudah memiliki processing industry dari zaman dulu seperti Uni Eropa, Amerika, Jepang untuk mengamankan pasokan bahan baku mereka.


“Maka dalam regulasi dibentuk larangan bahwa ekspor jangan dihambat, termasuk bahan mentah karena dalam rangka processing industry mereka,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Jumat (9/9).

Saat ini, Indonesia sebagai negara berkembang berpikir untuk melakukan industri pengolahannya di dalam negeri. Menjawab keinginan ini, keluarlah UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang menerapkan pelarangan ekspor bahan mentah produk pertambangan. Kemudian aturan ini juga dibuatkan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri untuk implementasi-nya.

Baca Juga: Jika Kebijakan Stop Ekspor Nikel Kalah di WTO, Begini Saran Pengamat

Lantas Uni Eropa menganggap UU Minerba yang ditetapkan menyulitkan mereka untuk kompetitif dalam industri besi dan baja khususnya produktivitas industri stainless steel Uni Eropa.

Persoalan inilah yang dipermasalahkan oleh Uni Eropa berdasarkan peraturan WTO yang merupakan aturan warisan zaman dulu. Saat inilah Indonesia melawan balik. Tetapi menurut Deny, memang susah untuk melawan aturan perdagangan.

“Kalau sudah ada aturannya, prinsip utama WTO tidak bisa memundurkan liberalisasi,” kata Deny.

Maka itu, Deny berpesan, Pemerintah mesti mencari strategi agar bisa tetap melakukan hilirisasi pengolahan mineral di dalam negeri dengan menghadapi penentangan dari negara yang merasa dihalangi akses bahan bakunya.  

Deny menilai, opsi yang disampaikan pemerintah bahwa Indonesia akan membuat aturan baru misalnya saja mengenakan pajak ekspor untuk komoditas bijih nikel, bisa menjadi strategi untuk keluar dari vonis pengadilan WTO.

Menurut Dany, pajak ekspor bisa menjadi instrumen yang pas untuk dimanfaatkan pemerintah menangani perkara seperti ini. Di dalam aturan WTO, suatu negara boleh menerapkan kebijakan pembatasan ekspor sepanjang memenuhi tujuan tertentu. Salah satunya, tujuan untuk memenuhi kebutuhan pasokan bahan baku dalam negeri.

Baca Juga: Opsi Pengenaan Pajak Ekspor Nikel Bisa Jadi Strategi RI Keluar dari Gugatan WTO

“Jenis-jenis pajak berbeda-beda, itu expertise-nya Kementerian Keuangan. Logikanya mereka bisa temukan formula yang pas untuk mencapai tujuan, yaitu RI lolos dari vonis pengadilan WTO sekaligus tidak menyebabkan rush ekspor bahan mentah nikel kita ke luar negeri,” terangnya.

Jika kebijakan yang baru telah dirumuskan, Deny bilang, tinggal dilihat nanti, WTO setuju atau tidak dengan regulasi seperti itu.

Deny menjelaskan lebih lanjut, menurut data perbandingan yang didapatkannya dari Kemenko Marves, ketika nikel dijual mentah ke luar negeri total pendapatan yang didapatkan Indonesia di bawah US$ 100 juta.

Namun, ketika nikel mentah dapat diolah  di dalam negeri lalu menghasilkan produk bernilai tambah seperti stainless steel, pendapatan dari produk nikel tersebut bisa melonjak lebih dari 20 kali lipat atau mencapai di atas US$ 10 miliar.

“Jadi pemerintah ingin industri pengolahan bahan baku dibuat di dalam negeri hingga meningkatkan nilai tambahnya,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Anna Suci Perwitasari