KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Wacana terkait relaksasi ekspor bijih bauksit kembali menguat pasca pemerintah menutup keran ekspor sejak Juni 2023 silam. Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Julian Ambassadur Shiddiq mengatakan, pemerintah tetap berkomitmen dalam mendorong hilirisasi sektor mineral sesuai ketentuan dan program yang dicanangkan. Di sisi lain, Pemerintah juga terus mengevaluasi soal usulan relaksasi ekspor bijih bauksit. Kebijakan larangan ekspor bijih bauksit menjadi salah satu strategi pemerintah dalam mendorong hilirisasi sektor bauksit.
"Situasi dan kondisi lapangan tentunya perlu dievaluasi terlebih dahulu secara komprehensif. Pada prinsipnya pemerintah terus berkomitmen mendorong terlaksananya pembangunan smelter sesuai komitmen badan usaha, termasuk tata waktu yang telah direncanakan," ujar Julian kepada Kontan, Selasa (16/7). Belakangan, perkembangan hilirisasi sektor bauksit khususnya dalam pembangunan fasilitas pemurnian dan pengolahan dinilai belum begitu optimal.
Baca Juga: Ekspor Bauksit Dilarang, Kinerja Emiten Grup Harita Tertekan tapi Antam Tetap Girang Julian mengatakan, kendala yang dihadapi dalam proses pembangunan smelter bauksit yaitu pendanaan di mana para pelaku usaha masih mencari investor baru serta tantangan lokasi pembangunan smelter. Sementara itu, Plh Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I), Ronald Sulistyanto mengatakan, dalam kurun 2009 hingga 2024 baru satu fasilitas smelter yang terbangun. Kebutuhan investasi yang tergolong besar menjadi kendala utama pembangunan smelter bauksit. "Untuk bauksit dengan kapasitas output 2 juta ton alumina itu memerlukan biaya US$ 1,2 miliar. Kebijakan relaksasi akan mengulang yang dilakukan pada 2017 lalu dan memang harus seperti itu," ujar Ronald kepada Kontan, Selasa (16/7). Ronald menilai relaksasi ekspor bijih bauksit dapat dilakukan sebagai bentuk upaya reposisi untuk pelaku usaha. Dengan demikian, pelaku usaha bisa mendapatkan sumber pendanaan untuk membangun smelter. "Pengusaha bauksit sekarang dalam kondisi sekarat karena banyak pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) tidak bisa menjual barangnya karena serapan dalam negeri terbatas," imbuh Ronald. Dalam catatan Kontan, Pada 2023, total produksi bijih bauksit dari perusahaan pemegang IUP yang memiliki RKAB ada sekitar 30 juta ton. Dengan serapan dalam negeri sebesar 12-14 juta ton artinya akan ada 16 juta ton hingga 18 juta ton bijih bauksit yang tidak terserap. Dalam catatan Kontan, dari 12 refinery yang dibangun, sebanyak 4 refinery sudah beroperasi dan 1 refinery milik PT Borneo Alumina Indonesia akan selesai. Jadi ada 7 fasilitas permunian yang belum ada perkembangan. Usulan relaksasi ekspor bijih bauksit disuarakan Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Maman Abdurrahman dalam Rapat Kerja bersama Menteri ESDM pada 8 Juli 2024 lalu.
Baca Juga: Kinerja Cita Mineral Investindo (CITA) tahun 2023 Tertekan Larangan Ekspor Bauksit Maman mengatakan, permintaan untuk mengkaji kebijakan larangan ekspor bauksit mempertimbangkan dampak perekonomian daerah salah satunya wilayah Kalimantan Barat.
"Dengan adanya kebijakan penutupan ekspor memiliki implikasi yang sangat luar biasa berat terhadap perekonomian di Kalimantan Barat," ujar Maman dalam Rapat Kerja bersama Menteri ESDM, Senin (8/7). Maman menjelaskan, salah satu kendala hilirisasi bauksit yakni nilai investasi smelter yang terhitung cukul tinggi. Kondisi ini dinilai menjadi salah satu penyebab pembangunan smelter bauksit terkendala. "Namun dengan tingginya nilai investasi pembangunan smelter bauksit, ini akhirnya berdampak kepada kemampuan pemilik-pemilik IUP untuk membangun smelter," jelas Maman. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari