KONTAN.CO.ID - JAKARTA. World Bank meragukan asa untuk menekan angka kemiskinan ekstrem akan tercapai pada tahun 2023. Lembaga tersebut justru yakin, cita-cita untuk menekan angka kemiskinan ekstrem itu bakal makin susah digapai. Presiden Grup World Bank David Malpass justru membuka kemungkinan, hampir 7% dari populasi global atau sekitar 574 juta orang masih akan berjuang dalam kemiskinan ekstrem pada satu windu lagi. “Ini lebih dari dua kali lipat dari 3% yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan dunia dalam menekan angka kemiskinan ekstrem,” tegas Malpass, seperti dikutip dari situs resmi Bank Dunia, Senin (10/10).
Malpass tak menampik, akibat pandemi Covid-19 yang menghantam pada tahun 2020, angka kemiskinan pun meningkat. Sebenarnya ia mengapresiasi langkah para otoritas fiskal untuk merogoh kocek dalam-dalam demi menahan angka kemiskinan. Menurutnya, hingga September 2021 saja, sekitar US$ 17 triliun atau 20% dari produk domestik bruto (PDB) global 2020 sudah dikucurkan untuk menanggulangi dampak negatif pandemi. Kalau otoritas fiskal tidak memberikan bantuan ini, maka rata-rata tingkat kemiskinan bisa lebih tinggi 2,4% poin dari rata-rata pada tahun 2020.
Baca Juga: Word Bank Ingatkan Dampak Tidak Langsung Kenaikan Harga BBM ke Kemiskinan Sayangnya, tidak semua negara mampu menahan laju kemiskinan dengan kebijakan fiskal tersebut. Kebanyakan negara maju memang bisa menanggulangi dampak pandemi Covid-19 ke kemiskinan. Pun dengan negara menengah atas juga mampu menanggulangi hingga 50% dampaknya. Namun, negara miskin dan negara menengah ke bawah hanya mampu menanggulangi dampaknya sekitar 25% saja. Ini karena mereka memiliki akses yang terbatas ke pembiayaan, sistem distribusi yang lemah, serta banyaknya jumlah pekerja informal. Untuk menekan jumlah kemiskinan, World Bank kemudian merumuskan langkah kebijakan fiskal yang bisa dilakukan oleh pemerintah negara-negara di dunia.
Pertama, menghindari subsidi dengan memberikan bantuan langsung tunai kepada masyarakat rentan dan miskin. Lebih dari 90% negara menganggarkan subsidi. Namun, subsidi sering salah sasaran. Malpass menganggap, bantuan langsung tunai lebih efisien dalam menjangkau mereka yang miskin dan yang rentan. Dengan bantuan ini, diharapkan bahkan masyarakat miskin dan rentan memiliki sisa uang lebih yang bisa mereka gunakan untuk jangka panjang. “Mungkin untuk membangun keluarga yang lebih berkualitas. Misalnya, melakukan investasi penting seperti untuk pendidikan anak-anak,” tambah Malpass.
Baca Juga: Direktur IMF Percaya Dunia Sudah Lebih Siap Menghadapi Krisis Kedua, investasi untuk mendukung pembangunan jangka panjang. Investasi yang bermanfaat, seperti untuk pendidikan, infrastruktur riset dan pembangunan, dianggap mampu untuk memberi dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi, kesenjangan, dan kemiskinan jangka panjang.
Ketiga, mendulang penerimaan negara tanpa kebijakan yang memberatkan masyarakat miskin. Pemerintah masih bisa mengenakan pajak properti, pajak karbon, dan pajak kesehatan tanpa arus membebani warga miskin. Bila ini diterapkan, reformasi fiskal ang ambisius untuk memang mampu mengembalikan tingkat kemiskinan ke level pra pandemi Covid-19. Namun, Malpass tetap pesimistis ini mampu mengakhiri jumlah kemiskinan pada tahun 2030. Kalaupun memang memungkinkan untuk mencapai target pada tahun 2030, kebijakan ini harus benar-benar dimulai sekarang. Meski, memang ada risiko yang membayang, yaitu krisis ketidakpastian global yang masih tumpang tindih. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari