JAKARTA. PT Bank Central Asia (BCA) Tbk memaparkan, pada 1998 saat terjadi krisis ekonomi yang melanda Indonesia, perseroan mengalami kerugian fiskal sebesar Rp 29,2 triliun. Berdasarkan Undang-Undang yang berlaku, maka kerugian yang dimaksud dapat dikompensasikan dengan penghasilan atau tax loss carry forward mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan lima tahun.Selanjutnya, sejak tahun 1999, BCA sudah mulai membukukan laba di mana laba fiskal tahun 1999 tercatat sebesar Rp 174 miliar. Nah, disini, Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja menjelaskan, terdapat perbedaan pendapat antara Ditjen Pajak dengan BCA.Pada tahun 1999, BCA menjalankan dua instruksi dari Menteri Keuangan No. 117/KMK.017/1999 dan Gubernur Bank Indonesia No. 31/15/KEP/GBI tertanggal 26 Maret 1999. Ini berarti, BCA menjadi milik Pemerintah, dengan kepemilikan mencapai 92,8%.Terkait transaksi pengalihan aset termasuk jaminan sebesar Rp 5,77 triliun yang dilakukan dengan proses jual beli dengan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), yang tertuang dalam Perjanjian Jual Beli dan Penyerahan Piutang No. SP-165/BPPN/0600, BPPN berhasil mendapatkan pemulihan aset (recovery) senilai Rp 3,29 triliun."BCA melaksanakan instruksi Menkeu dan Gubernur BI ketika itu, untuk mengalihkan aset-aset, pinjaman macet, dan pinjaman-pinjaman yang direstrukturisasi termasuk agunan dan jaminan kepada BPPN," kata Jahja, Selasa (22/4). Sementara Ditjen Pajak melihat kasus ini sebagai penghapusan kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL). "Terjadi perbedaan pendapat dalam hal ini," jelas Jahja di Gedung Menara BCA, Jakarta, Selasa (22/4).Jahja menuturkan, terdapat bukti nyata bahwa yang dilakukan BCA berdasarkan instruksi dua instansi pemerintah sebagai pengalihan aset. Pertama, jika hal ini disebut sebagai penghapusan NPL, maka saldo piutang macet akan ada di neraca BCA sebagai aset perseroan.Kedua, setelah aset BCA berpindah ke BPPN, pada 2003, terdapat bukti dari BPPN bahwa terdapat agunan yang berhasil ditagih sebesar Rp 3,29 triliun yang menjadi milik BPPN dan bukan milik BCA. "Karena aset BCA sudah dijual dan dialihkan ke BPPN, maka seluruh hasil penjualan sebesar Rp 3,29 triliun adalah milik BPPN, masuk ke pemerintah. Dengan begitu, tidak ada PPh yang harus dibayarkan oleh BCA dan tidak ada pemasukan dari recovery aset tersebut," jelas Jahja.Lebih lanjut Jahja mengungkapkan, atas transaksi pengalihan aset termasuk jaminan sebesar Rp 5,77 triliun dengan BPPN, BCA menjual secara cuma-cuma alias gratis. "Kami jual aset ke BPPN dengan nilai nihil, sudah pindah buku," ucapnya.Jahja menegaskan, pihaknya siap membeberkan bukti-bukti berupa korespondensi surat-menyurat yang merupakan instruksi dari dua instansi pemerintah yaitu Menkeu dan juga Gubernur BI. Catatan saja, pada saat itu, Menteri Keuangan dijabat oleh Boediono, Dirjen Pajak Hadi Purnomo dan Gubernur BI dijabat oleh Sjahrir Sabirin.Saat ditanya apakah Boediono mengetahui perbedaan pendapat antara Ditjen Pajak dengan BCA, Jahja mengaku tidak berhubungan dengan Menkeu. Sebab, seluruh korespondensi dengan Ditjen Pajak dilakukan dengan surat menyurat."Jadi kami tidak bisa menjawab apakah Menteri Keuangan mengetahui masalah itu. Yang pasti, ketentuan perpajakan, kerugian boleh dipakai selama lima tahun. Kerugian Rp 29,9 triliun masih bisa dikompensasikan dengan penghasilan sampai dengan 2003, BCA masih memiliki kerugian kompensasi yang belum digunakan sebesar Rp 7,81 triliun," ucap Jahja.Dengan demikian, seandainya keberatan BCA atas koreksi pajak senilai Rp 5,77 triliun yang menjadi pokok perbedaan pandangan dan pokok masalah tidak diterima oleh Ditjen Pajak, maka masih terdapat sisa tax loss carry forward yang dapat dikompensasikan sebesar Rp 2,04 triliun. Sisa tax loss carry forward tersebut tidak bisa dipakai lagi atau hangus setelah tahun 2003.Jahja menambahkan, pada tahun 2000 lalu, BCA melakukan penawaran umum perdana saham alias initial public offering (IPO). Sebelum melakukan IPO, kata Jahja, bank dengan kode emiten BBCA ini telah mendapatkan tax clearance dan melakukan kewajiban sebagai wajib pajak."Ini yang patut digarisbawahi, bahwa sebelum kami melakukan IPO, kami telah melakukan tax clearance," ucapnya.
Ini awal perbedaan pendapatan BCA dan Ditjen Pajak
JAKARTA. PT Bank Central Asia (BCA) Tbk memaparkan, pada 1998 saat terjadi krisis ekonomi yang melanda Indonesia, perseroan mengalami kerugian fiskal sebesar Rp 29,2 triliun. Berdasarkan Undang-Undang yang berlaku, maka kerugian yang dimaksud dapat dikompensasikan dengan penghasilan atau tax loss carry forward mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan lima tahun.Selanjutnya, sejak tahun 1999, BCA sudah mulai membukukan laba di mana laba fiskal tahun 1999 tercatat sebesar Rp 174 miliar. Nah, disini, Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja menjelaskan, terdapat perbedaan pendapat antara Ditjen Pajak dengan BCA.Pada tahun 1999, BCA menjalankan dua instruksi dari Menteri Keuangan No. 117/KMK.017/1999 dan Gubernur Bank Indonesia No. 31/15/KEP/GBI tertanggal 26 Maret 1999. Ini berarti, BCA menjadi milik Pemerintah, dengan kepemilikan mencapai 92,8%.Terkait transaksi pengalihan aset termasuk jaminan sebesar Rp 5,77 triliun yang dilakukan dengan proses jual beli dengan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), yang tertuang dalam Perjanjian Jual Beli dan Penyerahan Piutang No. SP-165/BPPN/0600, BPPN berhasil mendapatkan pemulihan aset (recovery) senilai Rp 3,29 triliun."BCA melaksanakan instruksi Menkeu dan Gubernur BI ketika itu, untuk mengalihkan aset-aset, pinjaman macet, dan pinjaman-pinjaman yang direstrukturisasi termasuk agunan dan jaminan kepada BPPN," kata Jahja, Selasa (22/4). Sementara Ditjen Pajak melihat kasus ini sebagai penghapusan kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL). "Terjadi perbedaan pendapat dalam hal ini," jelas Jahja di Gedung Menara BCA, Jakarta, Selasa (22/4).Jahja menuturkan, terdapat bukti nyata bahwa yang dilakukan BCA berdasarkan instruksi dua instansi pemerintah sebagai pengalihan aset. Pertama, jika hal ini disebut sebagai penghapusan NPL, maka saldo piutang macet akan ada di neraca BCA sebagai aset perseroan.Kedua, setelah aset BCA berpindah ke BPPN, pada 2003, terdapat bukti dari BPPN bahwa terdapat agunan yang berhasil ditagih sebesar Rp 3,29 triliun yang menjadi milik BPPN dan bukan milik BCA. "Karena aset BCA sudah dijual dan dialihkan ke BPPN, maka seluruh hasil penjualan sebesar Rp 3,29 triliun adalah milik BPPN, masuk ke pemerintah. Dengan begitu, tidak ada PPh yang harus dibayarkan oleh BCA dan tidak ada pemasukan dari recovery aset tersebut," jelas Jahja.Lebih lanjut Jahja mengungkapkan, atas transaksi pengalihan aset termasuk jaminan sebesar Rp 5,77 triliun dengan BPPN, BCA menjual secara cuma-cuma alias gratis. "Kami jual aset ke BPPN dengan nilai nihil, sudah pindah buku," ucapnya.Jahja menegaskan, pihaknya siap membeberkan bukti-bukti berupa korespondensi surat-menyurat yang merupakan instruksi dari dua instansi pemerintah yaitu Menkeu dan juga Gubernur BI. Catatan saja, pada saat itu, Menteri Keuangan dijabat oleh Boediono, Dirjen Pajak Hadi Purnomo dan Gubernur BI dijabat oleh Sjahrir Sabirin.Saat ditanya apakah Boediono mengetahui perbedaan pendapat antara Ditjen Pajak dengan BCA, Jahja mengaku tidak berhubungan dengan Menkeu. Sebab, seluruh korespondensi dengan Ditjen Pajak dilakukan dengan surat menyurat."Jadi kami tidak bisa menjawab apakah Menteri Keuangan mengetahui masalah itu. Yang pasti, ketentuan perpajakan, kerugian boleh dipakai selama lima tahun. Kerugian Rp 29,9 triliun masih bisa dikompensasikan dengan penghasilan sampai dengan 2003, BCA masih memiliki kerugian kompensasi yang belum digunakan sebesar Rp 7,81 triliun," ucap Jahja.Dengan demikian, seandainya keberatan BCA atas koreksi pajak senilai Rp 5,77 triliun yang menjadi pokok perbedaan pandangan dan pokok masalah tidak diterima oleh Ditjen Pajak, maka masih terdapat sisa tax loss carry forward yang dapat dikompensasikan sebesar Rp 2,04 triliun. Sisa tax loss carry forward tersebut tidak bisa dipakai lagi atau hangus setelah tahun 2003.Jahja menambahkan, pada tahun 2000 lalu, BCA melakukan penawaran umum perdana saham alias initial public offering (IPO). Sebelum melakukan IPO, kata Jahja, bank dengan kode emiten BBCA ini telah mendapatkan tax clearance dan melakukan kewajiban sebagai wajib pajak."Ini yang patut digarisbawahi, bahwa sebelum kami melakukan IPO, kami telah melakukan tax clearance," ucapnya.