KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Dunia melaporkan harga beras dalam negeri konsisten menjadi yang tertinggi di kawasan ASEAN. Bahkan data Bank Dunia juga menyebut harga beras Indonesia 20% lebih tinggi dari harga beras di pasar global. Pengamat pertanian Center of Reform on Economic (CORE) Eliza Mardian menyebutkan tingginya harga beras dalam negeri terjadi karena banyak faktor. Pertama, persoalan terkait penyempitan lahan petani. Menurutnya hampir 62% petani hanya memiliki lahan tak lebih dari 0,5 ha.
"Lahan sempit meski sudah diintensifkan, lahannya sangat sulit mencapai skala keekonomian. Akibatnya biaya per satuan unit menjadi mahal," kata Eliza pada Kontan.co.id, Selasa (24/9). Kedua, rendahnya adopsi teknologi di bidang pertanian Indonesia. Menurutnya ini terjadi karena mayoritas penduduk miskin bekerja sebagai di sektor pertanian. "Karena dari hasil penjualan petani itu bahkan hanya mampu memenuhi kebutuhan keluarga beberapa bulan saja, sehingga boro-boro ada untuk investasi alat mesin yang canggih," ujar Eliza.
Baca Juga: Harga Beras Tinggi Akibat Produksi Tidak Efisien Ketiga, tingginya biaya produksi untuk tenaga kerja yang mencapai 47% dari total biaya produksi. Eliza menuturkan hal itu terjadi karena semakin minimnya tenaga kerja di sektor pertanian. Sehingga membuat harga upah relatif lebih mahal. Untuk itu, menurutnya perlu mekanisasi di sektor pertanian agar biaya produksi dapat lebih efisien. "Meski di Indonesia angkatan kerja berlimpah, namun mereka kebanyakan tidak tertarik ke sektor pertanian. jadi memang harus mekanisasi pertanian dari mulai menanam, memanen hingga penanganan pasca panen," jelas Eliza. Sebelumnya, Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor-Leste Carolyn Turk menilai tingginya harga beras Indonesia terjadi karena beberapa hal, seperti kebijakan pemerintah terkait pembatasan impor dan kenaikan biaya produksi hingga pengetatan tata niaga melalui non tarif. Meski begitu, ia menyoroti tingginya harga beras dalam negeri tak sebanding dengan pendapatan petani lokal.
Merangkum dari hasil Survei Pertanian Terpadu, Badan Pusat Statistik (BPS), pendapatan rata-rata petani kecil kurang dari US$ 1 atau Rp 15.199 per hari. Sementara, pendapatan petani per tahun hanya mencapai US$ 341 atau Rp 5,2 juta. Survei ini juga menyoroti pendapatan petani tanaman pangan khususnya beras jauh lebih rendah dibandingkan dengan tanaman perkebunan atau pertanian hortikultura. "Jadi petani mendapat keuntungan rendah, padahal di lain sisi konsumen membayar harga beras dengan harga tinggi," jelas Carolyn. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Putri Werdiningsih