JAKARTA. Buronan kelas kakap Anggoro Widjojo dilaporkan tertangkap oleh Pihak Imigrasi Indonesia dan KPK bekerja sama dengan pihak Kepolisian Zhenzhen. Kabar itu seolah menjadi 'angin segar' bagi penegakan hukum di negeri ini. Maklum, buronan yang ditangkap itu berstatus
most wanted di komisi antirasuah di negeri ini. Terlebih, Anggoro dikenal sebagai penjahat 'licin' yang punya banyak koneksi pejabat dan aparat. Siapa sebenarnya Anggoro Widjojo? Ia diketahui lahir dengan nama Ang Tju Hong. Adapun adiknya, Anggodo Widjojo lahir dengan nama Ang Tju Nek. Berdua, mereka tumbuh menjadi pebisnis andal berbekal ilmu dari sang ayah, Ang Gai Hwa alias Ongko Widjojo. Masa kecil mereka habiskan dengan tinggal di sebuah rumah di Jalan Karet No 12, Surabaya.
Hanya saja, bisnis yang mereka lakukan sering bersinggungan dengan hukum. Sehingga predikat '
partner in crime' melekat pada dua sosok Anggodo dan Anggoro. Pribadi mereka yang supel dan royal membuat mereka secara cepat dekat dengan sejumlah pejabat lokal di Surabaya. Kabarnya, saat menjadi Wakapolwiltabes Surabaya, Susno Duadji pun cukup dekat dengan dou bersaudara di sana. Satu contoh bisnis yang membuat mereka melejit di kalangan pengusaha elite Surabaya adalah menjadi agen SDSB. Saat itu, jenis judi tersebut dilegalkan pemerintah pada akhir 1980-an. Dari bisnis ini mereka disebutkan mampu meraup banyak rupiah. Tak cuma itu, lewat bisnis ini pula mereka dekat dengan pejabat pusat di Jakarta. Pun, seiring penutupan SDSB, nama besar mereka meredup. Namun pada tahun 2000, mereka mampu 'bangkit' lewat PT Masaro Radiokom. Anggoro menjadi direktur perusahaan yang menjadi rekanan proyek pengadaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT). Adiknya, Anggodo menjabat Presiden Komisaris. Proyek SKRT itu adalah program di Kementerian Kehutanan dan sempat dihentikan Menteri Kehutanan M Prakosa. Proyek itu kembali dilanjutkan pada 2007 di masa Menteri Malam Sambat Kaban. Anggoro diduga telah mempengaruhi anggota Komisi Kehutanan DPR dan Kementerian Kehutanan untuk melanjutkan proyek tersebut. Komisi Kehutanan yang dipimpin Yusuf Erwin Faishal kemudian mengeluarkan surat rekomendasi pada 12 Februari 2007. Surat rekomendasi itu juga ditandatangani oleh Hilman Indra dan Fachri Andi Leluasa yang meminta Departemen Kehutanan meneruskan proyek SKRT. Disebutkan juga bahwa pengadaan alat itu sebaiknya menggunakan alat yang disediakan PT Masaro. Belakangan proyek bernilai Rp 180 miliar ini pun diduga telah merugikan negara sebesar Rp 13 miliar. Ada tiga anggota DPR kala itu yang disangkat terlibat. Mereka adalah Azwar Chesputra, Hilman Indra dari PBB, dan Fahri Andi Leluasa dari Partai Golkar. Ketiganya disebu "tim gegana". Dalam kasus alih fungsi hutan, ketiganya divonis menerima suap pelepasan kawasan hutan lindung Pantai Air Telang Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan. Dalam amar putusan hakim pada proyek alih fungsi hutan, mereka disebut terbukti menerima suap dari Direktur PT Masaro Radiocom, Anggoro Widjojo, dalam rangka memuluskan persetujuan anggaran proyek SKRT di Kementerian Kehutanan. Uang dalam wujud dolar Singapura itu berasal dari adik Anggoro, Anggodo Widjojo. Duit itu juga didistribusikan melalui Yusuf Erwin. Azwar disebut menerima uang sebesar Sin$ 5.000, Fahri Sin$ 30 ribu, dan Hilman Sin$ 140 ribu. Mereka juga disebut menerima suap dari Komisaris PT Chandratex Indo Artha, Chandra Antonio Tan, telah memberikan Mandiri Traveler's Cheque senilai Rp 5 miliar kepada anggota Komisi IV DPR periode 2004-2009 melalui Sarjan Tahir anggota DPR dari Partai Demokrat. Cek pelawat itu lalu dibagikan oleh Yusuf Erwin Faisal, Ketua Komisi IV, kepada Azwar sebesar Rp 450 juta, Hilman Rp 425 juta, dan Fahri Rp 335 juta. Dalam kasus yang sama, Kepala Biro Perencanaan dan Keuangan Departemen Kehutanan, Widjojo Siswanto pun dipidana bersalah pada April 2011 lalu. Dia dihukum penjara selama tiga tahun dan denda Rp 100 juta subsider empat bulan kurungan. Anggoro juga sempat membuat tensi hubungan kepolisian dan KPK kian memanas. Di tengah kemelut penyidikan kasus SKRT, dikabarkan sejumlah pegawai dan pimpinan KPK menerima suap yang diinisiasi Anggoro. Pada situasi lain, saat itu tengah panas isu 'Cicak Vs Buaya' terkait langkah penyadapan KPK terhadap sejumlah petinggi Polri. Dikutip dari Wikipedia, pada 10 Juli 2009 mantan, Kabareskrim Mabes Polri, Susno Duadji menemui Anggoro Widjojo di Singapura dan membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP) saksi sesuai dengan pelaporan mantan Ketua KPK Antasari Azhar terkait dugaan pemerasan/penyuapan yang dilakukan Chandra dan Bibit. Antasari membuat laporan itu di tahanan atas kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnain
Susno mengatakan bahwa hal tersebut dilakukan atas perintah Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri, Kapolri serta Susno Duadji menegaskan bahwa surat DPO Anggoro Widjojo dari KPK tidak pernah diterimanya. Sebelumnya, disebutkan pada 9 Juli 2009 KPK memasukkan Anggoro Widjojo ke dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) dan mengumumkannya ke seluruh jajaran kepolisian dan kejaksaan di Indonesia. Pada 21 Juli 2009, KPK mengumumkan mengenai temukan adanya surat pencabutan pencekalan palsu terhadap Anggoro Widjojo. Kini setelah hampir sekitar tujuh tahun buron, Anggoro bisa tertangkap kembali. (
diolah dari berbagai sumber/*) Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Hendra Gunawan