Ini Catatan dan Rekomendasi Analis di tengah Tren Deflasi dan Kontraksi Manufaktur



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Performa manufaktur Indonesia masih berada di zona kontraksi di tengah tren deflasi yang masih berlangsung. Purchasing Manager Index (PMI) Manufaktur Indonesia masih berada di bawah level 50, tepatnya di 49,2 per bulan September 2024.

Secara bulanan, PMI Manufaktur naik dari posisi 48,9 pada bulan Agustus. Tapi, PMI Manufaktur Indonesia masih terjebak di zona merah atau mengalami kontraksi selama tiga bulan berturut-turut.

Sementara itu, Indonesia kembali mencatat deflasi pada September 2024 sebesar 0,12% dibandingkan bulan sebelumnya. Deflasi ini telah terjadi selama lima bulan beruntun.


Baca Juga: Menperin: Kinerja Sektor Manufaktur Turut Dipacu Penerapan Industri 4.0

Pengamat dan Praktisi Pasar Modal, Agus Pramono menilai kombinasi dari dua indikator tersebut mencerminkan kondisi makro ekonomi yang sedang muram. Penyebabnya adalah pelemahan permintaan, terutama akibat melemahnya daya beli di kalangan masyarakat berpenghasilan menengah (middle income).

"Middle income biasanya akan menjadi lokomotif pertumbuhan. Pemerintah harus berhati-hati menetapkan kebijakan yang akan berdampak pada daya beli. Karena daya beli yang baik akan membuat Indonesia menarik untuk menjadi basis produksi manufaktur." kata Agus kepada Kontan.co.id, Selasa (1/10).

Dus, kondisi ini bukan hanya menekan emiten yang bergerak di industri manufaktur dan sektor terkait Tapi juga berpotensi menjadi pemberat bagi kinerja emiten di sektor konsumsi non-primer, khususnya pada emiten ritel.

Head Customer Literation and Education Kiwoom Sekuritas, Oktavianus Audi mengamini tren deflasi dan manufaktur yang masih di zona kontraksi memberikan sinyal terjadinya pelemahan permintaan. Performa emiten di sejumlah sektor pun rawan tertekan akibat situasi ini.

Terutama bagi emiten yang bergelut di industri manufaktur, barang konsumsi, dan otomotif. Kemudian bisa membawa dampak ke sektor logsitik dan transportasi.  "Penurunan aktivitas ekonomi, melemahnya permintaan konsumen dan bisnis bisa menjadi sentimen negatif untuk pasar," kata Audi.

Audi mengingatkan agar pelaku pasar mencermati perkembangan kondisi makro ekonomi di dalam negeri. Meski pada bersamaan, ada sentimen lain yang perlu diperhatikan.

Terlebih memasuki bulan Oktober, investor juga mulai mengantisipasi musim rilis laporan keuangan kuartal ketiga.

Founder WH-Project William Hartanto sepakat, antisipasi pelaku pasar terhadap musim rilis laporan keuangan akan menjadi katalis penting yang mengimbangi sentimen dari makro ekonomi. Dia pun memprediksi deflasi dan manufaktur yang masih di zona kontraksi akan menjadi sentimen jangka pendek. 

Apalagi pelaku pasar sedang fokus pada sentimen lain, terutama efek kucuran stimulus ekonomi China yang tampak mulai mereda. Usai dalam beberapa hari terakhir sentimen insentif di China membuat capital outflow yang menekan pasar saham. 

Baca Juga: Proyek Infrastruktur Belum Berdampak Signifikan bagi Pertumbuhan Ekonomi

Mengawali perdagangan Oktober, Selasa (1/10), capital inflow pun kembali mengalir. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga sudah kembali menanjak setinggi 1,52% ke level 7.642,13.

"Sentimen paling kuat dalam pergerakan harga saham dan minat beli investor adalah kinerja dan momentum secara teknikal. Jadi menurut saya data-data makro walaupun ada efeknya, namun tidak signifikan," ujar William.

Analis Sinarmas Sekuritas Eddy Wijaya menambahkan, investor juga perlu cermat melihat momentum. Di tengah situasi makro ekonomi dan pasar saat ini, Eddy melihat saham di sektor energi cukup prospektif, yang biasanya akan terdongkrak oleh kenaikan permintaan di akhir tahun.

Eddy menyarankan hold atau buy saham PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO) dan PT Bukit Asam Tbk (PTBA). Kemudian wait and see saham perbankan seperti PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI), PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BRIS) dan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI).

Sementara Audi menyarankan saham defensif di tengah deflasi dan lesunya performa manufaktur. Cermati emiten yang memiliki daya tahan, dengan kinerja relatif stabil meski dalam tekanan ekonomi. 

Baca Juga: Ekonomi Indonesia Sangat Kompleks, Ekonom Ini Ingatkan Prabowo Jangan Salah Langkah

Secara sektoral, emiten konsumsi primer dan kesehatan bisa menjadi pilihan. Untuk pertimbangan trading dan investasi, Audi melirik saham BMRI (support Rp 6.850 & resistance Rp 7.350), PT Astra International Tbk (ASII) dengan support Rp 5.000 & resistance Rp 5.350 dan PT Siloam International Hospitals Tbk (SILO) dengan support di Rp 2.980 dan resistance di Rp 3.390.

Audi menyarankan strategi speculative buy untuk ketiga saham tersebut. Sedangkan William melihat PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk (TKIM), PT Alkindo Naratama Tbk (ALDO), PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JPFA) dan PT Indomobil Sukses Internasional Tbk (IMAS) menarik dikoleksi.

Selanjutnya: Prospek Saham Batubara di Tengah Transisi Penggunaan Energi Hijau

Menarik Dibaca: MIND ID Komitmen Hilirisasi yang Berkelanjutan, Simak Caranya!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi