KONTAN.CO.ID - Kematian Johannes Marliem, saksi kunci kasus korupsi e-KTP (KTP elektronik) menyisakan banyak misteri. Pria yang dikabarkan bunuh diri ditemukan dengan beberapa luka di tubuhnya, hal yang kurang lazim dalam peristiwa bunuh diri. Beberapa waktu lalu, KONTAN sempat saling bertukar pesan dengan Marliem. Ketika itu ia sempat mengungkapkan kekecewaannya pada pimpinan KPK dan sebuah media massa lantaran pemberitaan yang membuat nyawanya terancam. "Saya tidak mau dipublikasi begini sebagai saksi. Malah sekarang bisa-bisa nyawa saya terancam," ujarnya.
"Seharusnya penyidikan saya itu rahasia. Masa saksi dibuka-buka begitu di media. Apa saya enggak jadi bual-bualan pihak yang merasa dirugikan? Makanya saya itu kecewa betul," imbuh Marliem mengomentari bocornya kepemilikan rekaman pembicaraan terkait pembahasan proyek e-KTP. Berita yang Marliem maksud ialah soal terbongkarnya bukti berupa rekaman pembicaraan. Padahal, rekaman tersebut sebenarnya tak ingin ia beberkan. "Saya kira sama saja hukum di AS juga begitu. Kita selalu menjunjung tinggi
privacy rights, harus memberitahu dan
consent bila melakukan perekaman," tuturnya. Itu sebabnya, ia sempat mengungkapkan harapannya agar (jurnalis) KONTAN tidak memelintir pemberitaan soal rekaman yang ia anggap sebagai catatan tersebut. Pasalnya, dalam pemberitaan di media sebelumnya, seolah-olah dijelaskan bahwa ketua DPR RI Setya Novanto ditetapkan sebagai tersangka gara-gara rekaman yang ia miliki. "Jadi tolong jangan diplintir lagi. Saya tidak ada kepentingan soal rekaman. Dan ada rekaman SN (Setya Novanto) atau tidak, saya juga tidak tahu. Namanya juga catatan saya," ucap Marliem. Marliem juga sempat membantah soal isi surat dakwaan yang menyebut ia sempat memberikan duit US$ 200.000 kepada Sugiharto, mantan pejabat Kemendagri yang sudah divonis bersalah di Pengadilan Tipikor Jakarta. Sebagai buktinya, ia memberikan potongan rekaman pembicaraannya dengan Sugiharto. Dalam pembicaraan itu, Marliem hanya ingin memberikan teknologi yang terbaik serta bekerja demi kesuksesan program e-KTP. Harga yang ia berikan kepada konsorsium pun merupakan harga wajar dan tidak digelembungkan seenaknya. Meskipun perusahaannya berbasis di Amerika Serikat, Marliem menggaransi data kependudukan tidak akan bocor. Pasalnya server dan
storage system berada di Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta. Lantaran perusahaannya berasal dari negeri Paman Sam itu pula yang menjadi alasan dia tidak bisa main suap-menyuap. "Saya sudah pahit-pahit ngomong di depan, bahwa kami ini perusahaan Amerika. Tidak bisa
cawe-cawe. Kami tidak bisa mengeluarkan uang dari perusahaan untuk kepentingan tidak jelas," tuturnya.
Pasalnya, jika melanggar, perusahaanya akan dijerat dengan FCPA (Foreign Corrup Practice Act) dan harus membayar denda besar jika terbukti menyuap. Penerapan aturan ini serupa dengan pidana korporasi yang mulai digunakan KPK akhir-akhir ini. Dalam kesempatan itu, Marliem juga sempat berkomentar soal kartu-kartu yang dikeluarkan pemerintah, seperti Kartu Indonesia Pintar, Kartu Keluarga Sejahtera, BPJS dan sebaginya. Baginya, kartu tersebut hanya pemborosan anggaran karena hanya plastik yang berisi tulisan. Sementara, e-KTP berisi data biometrik yang sangat valid. Dengan e-KTP, pemerintah bisa memastikan jumlah anggota keluarga, berapa anak yang harus disubsidi. "KTP-el saat ini sudah siap, mau dijadikan e-Toll bisa, jadi
e-money juga bisa. Tapi, karena di sektor-sektor itu sudah dikuasai mafia jadi pemerintah tidak berani ambil keputusan politis," katanya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Dupla Kartini