KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Aktivitas layanan
transhipment PT Trans Power Marine Tbk (
TPMA) berjalan dengan normal setelah pemerintah kembali membuka keran ekspor batubara. Direktur Trans Power Marine Rudy Sutiono menjelaskan, sebenarnya sejak 2016 perusahaan sudah tidak lagi melayani angkutan laut ekspor secara langsung (
direct). Maka dari itu, saat ini TPMA lebih fokus menjalankan bisnis ekspor secara tidak langsung (
indirect) melalui sistem
transhipment. Lebih jelasnya, sistem
transhipment ini adalah aktivitas pengangkutan batubara menggunakan kapal tongkang dari fasilitas
stockpile batubara ke kapal induk atau
mother vessel yang berada di tengah laut. Kapal induk ini yang digunakan untuk ekspor.
Rudy menerangkan, keberadaan kapal tongkang dalam aktivitas ekspor batubara sangatlah penting karena kapal induk tidak bisa merapat ke fasilitas
stockpile batubara lantaran lokasinya mengharuskan kapal melewati sungai atau laut yang dangkal. Maka dari itu, satu-satunya cara untuk mengangkut batubara dari
stockpile ke
mother vessel adalah dengan kapal tongkang.
Baca Juga: Trans Power Marine Siapkan Capex Rp 150 Miliar-Rp 200 Miliar Tahun Ini "Jadi kapal tongkang ini mengangkut batubara melalui sungai, kemudian keluar sampai ke laut dalam, menuju
mother vessel yang menunggu di tengah laut," jelasnya kepada Kontan.co.id, Rabu (26/1). Ketika terjadi pelarangan ekspor batubara, TPMA mengalihkan sejumlah kapal tongkangnya untuk melayani angkutan antar pulau (domestik). Rudy mengungkapkan, sejak pelarangan ekspor, banyak perusahaan tambang yang menghubungi untuk meminta kapal tongkang. "Pihak tambang meminta untuk mengangkut batubara ke PLTU lantaran kargo tidak mungkin didiamkan di
stockpile terlalu lama karena akan menumpuk sedangkan kapasitasnya terbatas. Di sisi lain, suplai kapal tongkang di Indonesia lebih rendah dibandingkan
demand-nya," ujarnya. Namun, bukan berarti layanan
transhipment TPMA tidak berjalan selama masa pelarangan ekspor. Rudy mengatakan, selama ekspor batubara tidak diizinkan, kapal
mother vessel sudah ada yang datang sehingga tetap perlu diisi dengan kargo. Hanya saja karena masih dilarang, kapal induk tersebut tidak boleh keluar dari Indonesia. Jadi Trans Power Marine tetap melayani
transhipment, meskipun tidak sebanyak ketika kondisi normal. "Lantas, setelah ekspor diperbolehkan lagi, saat ini aktivitas
transhipment kembali seperti sedia kala, seperti sebelum ada larangan," ungkapnya.
Rudy menambahkan, secara umum segmen
transhipment berkontribusi hingga 50% ke pendapatan TPMA. Namun, layanan ini marginnya lebih kecil sedangkan layanan antar pulau atau
long shipment marjin-nya lebih besar.
Maka dari itu, secara umum
bottom line TPMA tidak terpengaruh karena pihaknya sudah memperhitungkan utilisasinya. Buktinya saja, sejak awal Januari hingga saat ini utilisasi kapal TPMA stabil di level 95% dan 5%
docking. Di tahun ini, TPMA melihat permintaan pengangkutan batubara masih tinggi sehingga pihaknya akan menambah armada baru yakni 2-3 set kapal dengan alokasi belanja modal sebesar Rp 150 miliar hingga Rp 200 miliar. Melansir catatan Kontan.co.id sebelumnya, manajemen Trans Power Marine menargetkan pertumbuhan pendapatan 10%-15% yoy, sementara untuk laba bersih ditargetkan mampu bertumbuh 30%-40% yoy di sepanjang 2022. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari