KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rancangan Undang-undang (RUU) Larangan Minuman Beralkohol (minol) kembali di bahas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). RUU ini menuai polemik di masyarakat. Permasalahan yang menuai kontroversi dimulai dari sanksi pidana bagi orang uang mengonsumsi minuman beralkohol hingga produsen penyalur. Dalam draf RUU ini, pada Pasal 18 Bab VI Ketentuan Pidana menyatakan, orang yang memproduksi minuman beralkohol bisa dipenjara maksimal 10 tahun atau denda maksimal Rp 1 miliar.
Dus, RUU ini dinilai akan mempengaruhi pergerakan saham dan kinerja emiten yang bergerak di sektor minuman beralkohol. Tercatat, ada dua emiten di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang saat ini memproduksi minuman beralkohol yakni PT Multi Bintang Indonesia Tbk (MLBI) dan PT Delta Djakarta Tbk (DLTA). Baca Juga: Jika RUU Larangan Minuman Beralkohol lolos, penjual miras bisa dipidana 10 tahun Analis Pilarmas Investindo Sekuritas Okie Ardiastama menilai, adanya RUU ini berpotensi menjadi tekanan pada bisnis perusahaan yang memproduksi minuman beralkohol. Sehingga, hal ini pun berpeluang menyebabkan adanya penurunan dari sisi pendapatan (penerimaan) pajak negara. “Mungkin kami perlu mengkaji kembali RUU tersebut lebih luas terkait apa saja yang akan dikenakan sanksi dan apa tujuannya,” kata dia kepada Kontan.co.id, Jumat (13/11). Asal tahu saja, kedua saham produsen minuman beralkohol tersebut kompak terkoreksi pada perdagangan akhir pekan ini. Saham MLBI melemah 2,01% ke level Rp 8.550. Dan saham DLTA pun turun 2,68% ke level Rp 4.000 per saham. Sejak awal tahun, kedua saham ini juga mencetak rapor merah. DLTA sudah anjlok 41,18% dan MLBI ambles 44,84%. Okie memproyeksi, kedua saham ini masih berpotensi untuk terkoreksi lebih dalam. Untuk saham DLTA sendiri, Rp 3.860 dapat menjadi level suport-nya sedangkan suport bagi saham MLBI berada di level Rp 8.250. Lebih lanjut Okie bilang, pelaku pasar lebih baik untuk menunggu kejelasan dari aturan tersebut. Di satu sisi, pergerakan saham MLBI dan DLTA juga kurang likuid di pasar, sehingga menjadi kurang menarik dari sisi pergerakan harga. Namun, secara umum, saham berbasis barang konsumsi menarik untuk dicermati, terlebih bagi perusahaan yang memiliki brand kuat dan pangsa pasar yang luas.