JAKARTA. Para pengembang properti yang tergabung dalam organisasi Real Estat Indonesia (REI) menyampaikan sejumlah keluhan dan unek-unek kepada pemerintah di hadapan Wakil Presiden Boediono dan Menteri Perumahan Rakyat Djan Faridz. REI memandang, pihaknya menemukan sejumlah persoalan seperti perizinan, pertanahan dan perpajakan yang selama ini menjadi kendala bagi pengembang untuk menjalankan bisnisnya. Menurut Ketua Umum REI Setyo Maharso, dari 3.000-an perusahaan pengembang anggota REI di seluruh Indonesia, mayoritas masih mengeluhkan persoalan perizinan, pertanahan dan perpajakan. Beberapa hal yang mengganjal tersebut adalah seperti; Pertama, pemberian izin lokasi yang masih dibebani biaya tinggi bagi pembangunan perumahan pemukiman dan pembebasan biaya bagi perumahan sederhana tapak. "Kami juga meminta, khusus untuk perumahan bagi MBR harus dibebaskannya biaya IMB dan percepatan waktu proses perizinannya," tutur Setyo, Senin (25/11). Kedua, beban biaya dan sertifikat tanah masih menjadi biaya tinggi tanpa adanya kejelasan biaya dan waktu penyelesaiannya. Karena itu, REI meminta BPN menindak aparat-aparatnya yang tidak mendukung proses penerbitan sertifikat, khususnya untuk rumah bagi MBR. Ketiga, peningkatan transparansi pelayanan BPN dalam proses pengukuran dan pembuatan serta pemecahan sertifikat, dan kejelasan waktu dalam pemrosesannya. Hal ini kerap menyusahkan pengembang. Keempat, pengaturan perpajakan yang fleksibel dan dinamis, agar nilai bebas PPN dan BPHTB bagi rumah susun milik disesuaikan dengan ketentuan harga jual yang diputuskan oleh Menteri Perumahan Rakyat. Kelima, meminta pemerintah memberi insentif pajak bagi pengembang yang membangun perumahan pemukiman berwawasan lingkungan dan berkelanjutan agar ikut meningkatkan gairah iklim industri real estate. Selain persoalan tersebut, REI mendesak pemerintah dan DPR segera menyelesaikan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perumahan dan RUU Pertanahan. Dengan demikian, UU tersebut bisa segera direalisasikan dan manfaatnya dirasakan masyarakat berpenghasilan rendah. "Kehadiran UU Pertanahan ini diharapkan mampu mengatasi ketidakpastian hukum atas kepemilikan tanah yang telah diberikan haknya oleh BPN," imbuh Setyo. Menurutnya, kepastian hukum yang seharusnya menjadi prioritas utama untuk diatur pada pasal-pasal RUU Pertanahan, sehingga menjamin kepastian dalam berusaha bagi investor dan masyarakat. Hal itu juga sesuai dengan pasal 28G ayat 1 UUD 1945 bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri dan harta bendanya. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Ini dia keluhan REI kepada pemerintah!
JAKARTA. Para pengembang properti yang tergabung dalam organisasi Real Estat Indonesia (REI) menyampaikan sejumlah keluhan dan unek-unek kepada pemerintah di hadapan Wakil Presiden Boediono dan Menteri Perumahan Rakyat Djan Faridz. REI memandang, pihaknya menemukan sejumlah persoalan seperti perizinan, pertanahan dan perpajakan yang selama ini menjadi kendala bagi pengembang untuk menjalankan bisnisnya. Menurut Ketua Umum REI Setyo Maharso, dari 3.000-an perusahaan pengembang anggota REI di seluruh Indonesia, mayoritas masih mengeluhkan persoalan perizinan, pertanahan dan perpajakan. Beberapa hal yang mengganjal tersebut adalah seperti; Pertama, pemberian izin lokasi yang masih dibebani biaya tinggi bagi pembangunan perumahan pemukiman dan pembebasan biaya bagi perumahan sederhana tapak. "Kami juga meminta, khusus untuk perumahan bagi MBR harus dibebaskannya biaya IMB dan percepatan waktu proses perizinannya," tutur Setyo, Senin (25/11). Kedua, beban biaya dan sertifikat tanah masih menjadi biaya tinggi tanpa adanya kejelasan biaya dan waktu penyelesaiannya. Karena itu, REI meminta BPN menindak aparat-aparatnya yang tidak mendukung proses penerbitan sertifikat, khususnya untuk rumah bagi MBR. Ketiga, peningkatan transparansi pelayanan BPN dalam proses pengukuran dan pembuatan serta pemecahan sertifikat, dan kejelasan waktu dalam pemrosesannya. Hal ini kerap menyusahkan pengembang. Keempat, pengaturan perpajakan yang fleksibel dan dinamis, agar nilai bebas PPN dan BPHTB bagi rumah susun milik disesuaikan dengan ketentuan harga jual yang diputuskan oleh Menteri Perumahan Rakyat. Kelima, meminta pemerintah memberi insentif pajak bagi pengembang yang membangun perumahan pemukiman berwawasan lingkungan dan berkelanjutan agar ikut meningkatkan gairah iklim industri real estate. Selain persoalan tersebut, REI mendesak pemerintah dan DPR segera menyelesaikan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perumahan dan RUU Pertanahan. Dengan demikian, UU tersebut bisa segera direalisasikan dan manfaatnya dirasakan masyarakat berpenghasilan rendah. "Kehadiran UU Pertanahan ini diharapkan mampu mengatasi ketidakpastian hukum atas kepemilikan tanah yang telah diberikan haknya oleh BPN," imbuh Setyo. Menurutnya, kepastian hukum yang seharusnya menjadi prioritas utama untuk diatur pada pasal-pasal RUU Pertanahan, sehingga menjamin kepastian dalam berusaha bagi investor dan masyarakat. Hal itu juga sesuai dengan pasal 28G ayat 1 UUD 1945 bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri dan harta bendanya. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News