KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Melansir draf dokumen
Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) tercantum dua proyek pemensiunan dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang menjadi proyek prioritas Just Energy Transition Partnership (JETP). Kedua proyek itu ialah PLTU Pelabuhan Ratu dan PLTU Pelabuhan Cirebon-1 dengan total kapasitas 1,629 Giga Watt (GW).
PLTU Pelabuhan Ratu berkapasitas 969 MW menyalurkan listrik untuk sistem Jawa-Madura-Bali. Pembangkit ini seharusnya dapat beroperasi hingga 2042., namun dengan dipensiunkan dini, umur pembangkit ini dipangkas 5 tahun sehingga hanya beroperasi sampai 2037. Estimasi investasi pemensiunan dini PLTU Pelabuhan Ratu senilai US$ 870 juta.
Sedangkan untuk PLTU Cirebon-1 berkapasitas 660 MW juga melistriki sistem Jawa-Madura-Bali seharusnya dapat beroperasi sampai 2045. Namun dengan dipangkas umurnya 8 tahun, pembangkit ini
hanya akan beroperasi sampai 2037. Estimasi investasi proyek ini sekitar US$ 300 juta.
Jika ditotal, jumlah PLTU yang akan dipensiunkan hanya sebesar 1,629 GW dengan estimasi investasi US$ 1,17 miliar.
Baca Juga: Tahun Ini, Satu Program Transisi Energi Lewat JETP Bakal Digarap Sejumlah pihak menyayangkan turunnya target pemensiunan dini dari draf sebelumnya di mana direncanakan pengakhiran operasional 5 GW PLTU sebelum 2030.
Kepala Program, Riset dan Analisis untuk Transisi Bahan Bakar Fosil, E3G—sebuah lembaga think tank berbasis di Inggris—Leo Roberts, mengatakan bahwa target
untuk pensiun dini PLTU dalam dokumen CIPP dianggap tidak cukup memadai. Menurut Leo, agar sejalan dengan Kesepakatan Paris, sebanyak 10 kali lipat kapasitas PLTU harus ditutup hingga 2030, dan perlu lebih banyak lagi kapasitas PLTU yang ditutup hingga 2040.
Leo menegaskan, catatan soal draf CIPP tidak hanya itu. Ketiadaan pengetatan soal pembangunan PLTU baru berpotensi akan mengganggu pengembangan energi terbarukan. “JETP harus menjadi mekanisme yang sempurna untuk mendanai pensiun dini PLTU batu bara yang ambisius dan menghindari pembangunan PLTU batu bara baru. Masih terdapat beberapa celah yang harus dibenahi dalam draf CIPP ini,” kata Leo dalam keterangan resmi, Jumat (3/11).
Lauri Myllyvirta, Lead Analyst di Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA), menyayangkan proses JETP yang menjauh dari tujuan awalnya yaitu untuk memensiunkan PLTU batu bara.
“Ada sekitar 7,4 GW yang terkoneksi di jaringan yang sudah seharusnya dipensiunkan pada 2035 dengan asumsi umur natural (30 tahun) dan hanya akan ada 1,6 GW proyek yang akan diselesaikan hingga 2025,” ujarnya.
Baca Juga: Satu Program Transisi Energi Lewat JETP Bakal Digarap Tahun Ini Sayangnya, dokumen rencana CIPP tidak menunjukkan penurunan dari tahun 2025 hingga 2035. Hal ini tentunya menimbulkan pertanyaan terkait komitmen pemerintah Indonesia dan PLN terkait pemensiunan PLTU. Draf CIPP juga tidak memasukkan target pembiayaan terkait emisi dari PLTU batu bara di Indonesia yang kekurangan alat pengontrol emisi udara. Pada tahun 2022, PLTU di Indonesia bertanggung jawab atas 10,000 kematian akibat polusi di Nusantara.
Sebagai informasi, di dalam draf CIPP JETP menunjukkan bahwa saat ini, pemerintah Indonesia dan International Partners Group (IPG) hanya berfokus pada target transisi energi untuk sektor ketenagalistrikan yang berada dalam jaringan (
on grid).
CIPP JETP juga menunjukkan peningkatan target bauran energi terbarukan menjadi 44% pada 2030, meningkat dari target awal 34% sesuai dokumen
Joint Statement JETP.
Rekomendasi lain yang ada dalam dokumen ini menyarankan percepatan target nol emisi Indonesia menjadi tahun 2050. Dokumen ini memberikan estimasi pembiayaan yang dibutuhkan Indonesia untuk mendorong transisi energi berkeadilan melalui lima area fokus investasi (
investment focus area/IFA), yaitu sebesar US$ 95,9 miliar pada periode 2023-2030 dan US$ 580,3 miliar untuk periode 2023-2050. Lima IFA yang tercantum adalah:
- IFA 1 Pembiayaan untuk jalur transmisi dan penyebaran jaringan sepanjang 14 ribu km; dengan biaya US$ 19.7 miliar (sekitar Rp 300 triliun) hingga 2030.
- IFA 2 Pensiun dini PLTU batu bara dan phase-out yang diatur; retrofit batu bara yang fleksibel dengan kebutuhan biaya mencapai US$ 1,3 miliar (sekitar Rp 20 miliar) hingga 2030.
- IFA 3 Akselerasi Energi Terbarukan dispatchable dengan kapasitas 16,1 GW untuk dibangun paling lambat 2030 sebesar US$ 49,2 miliar (sekitar Rp 600 triliun).
- IFA 4 Akselerasi Energi Terbarukan Variabel (VRE) dengan kapasitas 40,4 GW untuk dibangun paling lambat 2030 sebesar US$ 25,7 miliar (sekitar Rp 390 triliun)
- IFA 5 Peningkatan rantai pasok energi terbarukan .
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari