KONTAN.CO.ID-JAKARTA. PT PLN sudah menyiapkan sejumlah strategi untuk mengantisipasi tuntutan penurunan emisi karbon di sektor kelistrikan. Salah satu tugas besar perusahaan listrik pelat merah ini ialah memensiunkan dini dan mematikan perlahan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang saat ini masih menjadi tulang punggung kelistrikan nasional.
Keberadaan PLTU yang berbasis bahan bakar batu bara masih menjadi andalan karena dinilai mampu menekan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik. Ini akan berimbas pada harga jual listrik kepada pelanggan yang lebih murah.
VP Digitalisasi Kelistrikan Divisi Management Digital PLN, Agus Tri Susanto menyatakan saat ini pihaknya telah memiliki rencana jangka panjang perihal mana saja pembangkit batubara yang akan dimatikan.
“Pertimbangan pertama ialah usianya dahulu kami lihat nih, kalau sudah terlalu tua jadi tidak efisien. Jadi mulai dari situ kami evaluasi yang terdekat Suralaya 1-4 akan kita coba matikan,” ujarnya di Jakarta, Rabu (25/10).
Baca Juga: Dukung Transisi Energi, Uni Eropa Menjanjikan Kucuran Dana JETP Namun dirinya juga menegaskan, posisi PLN dalam hal penurunan emisi karbon di sektor kelistrikan tidak ingin serta-merta menyutik mati PLTU lantaran tetap ingin menjaga pasokan dan ketahanan energi di dalam negeri. Perusahaan setrum pelat merah ini akan menganalisa dan mengevaluasi setiap pembangkit batubara yang akan dimatikan.
Salah satu rencana yang dimatangkan ialah pengganti pasokan listrik dari sumber lain yang non-batubara. Dia bilang, tidak mungkin pihaknya memadamkan pembangkit kalau belum ada pengganti yang sepadan.
“Ini pun dipilih harus pembangkit energi terbarukan atau mendekati itu supaya transisi energi terjaga dan keberlanjutan tercapai,” imbuhnya.
Yang jelas, di tahap pertama PLN akan mematikan pembangkit Suralaya 1-4 berkapasitas 1.600 MW (1,6 GW) yang notabene saat ini sudah tua karena beroperasi sejak 1984.
Saat ini, PLN telah memiliki rencana penurunan emisi karbon di sektor kelistrikan khususnya bagi pembangkit batubaranya. Inisiatif yang sudah dilakukan ialah pembatalan 13,3 Gigawatt (GW) PLTU baru yang sebelumnya direncanakan dalam RUPTL 2019-2028. Pembatalan
power purchase aggrement (PPA) untuk 1,3 GW PLTU yang ada di dalam
pipeline RUPTL 2021-2030. Menggantikan 1,1 GW PLTU dengan pembangkit EBT.
Kemudian PLN juga akan menggantikan 800 MW PLTU dengan pembangkit gas. Mengembangkan co-firing biomassa pada 41 PLTU dan akan mencapai 52 PLTU pada 2025. Serta menjalankan program dedieselisasi 1 GW.
Baca Juga: Revisi Kebijakan Energi Indonesia Buka Jalan Pemanfaatan Nuklir di Kelistrikan VP Business Development-Generation PT PLN Nusantara Power, Yama Bellatrixiana menyatakan, untuk menggantikan pasokan listrik dari pembangkit batubara, tentu harus dicari pembangkit yang kapasitas pasokan listrik serta harga atau tariffnya hampir sama.
“Mungkin bisa dengan gas atau pembangkit hidro yang sebesar pembangkit batubara itu,” jelasnya ditemui di Pathways to a Prosperous Indonesia Powered by Renewable Energy” How Team Europe can Support a Just Energy Transition in Indonesia di Jakarta, Selasa (24/10).
Menurutnya tariff listrik dari sumber lain yang bertugas menggantikan setrum batubara harus sesuai. Kalau tidak, subsidi kelistrikan akan lebih membengkak dan jangan sampai masyarakat yang harus menanggung kenaikan tarif listrik ke depannya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .