Ini emiten yang bisa untung dari anjloknya rupiah



JAKARTA. Posisi rupiah semakin tersudut di hadapan dollar Amerika Serikat. Beredasar kurs tengah Bank Indonesia pada Jumat (13/3) lalu, nilai tukar rupiah Rp 13.191 per dollar AS.

Kondisi ini memunculkan dua sisi bagi emiten di Bursa Efek Indonesia. Selain memunculkan tekanan, ada pula emiten yang diuntungkan oleh pelemahan rupiah. Bukan hanya eksportir yang menikmati keuntungan dari apresiasi dollar AS. Emiten yang sehari-hari akrab dengan transaksi valuta asing, seperti perbankan, juga ikut mendapatkan berkah.

Kepala Riset Asjaya Indosurya Securities William Surya Wijaya menilai, perbankan diuntungkan oleh penguatan dollar AS. Karena, aliran dana akan kencang seiring banyaknya nasabah yang melakukan jual beli valuta asing. Bank yang meraih untung adalah bank besar yang melaksanakan transaksi valas, seperti Bank Central Asia (BBCA), Bank Negara Indonesia (BBNI), Bank Mandiri (BMRI) dan Bank Rakyat Indonesia (BBRI).


Selain transaksi valas, tidak sedikit bank yang juga memiliki simpanan berbentuk dollar AS. BMRI, misalnya, mencatatkan simpanan dollar AS berupa giro pada Bank Indonesia setara Rp 10,22 triliun. Jumlah ini 20% dari total giro pada BI. Emiten di sektor lain, seperti Nippon Indosari Corpindo (ROTI) juga memiliki simpanan valas, termasuk dollar AS. Per kuartal III-2014, ROTI memiliki simpanan valas setara Rp 13,08 miliar. Jumlah ini 14% dari total simpanan ROTI di bank.

Kepala Riset NH Korindo Securities Reza Priyambada menilai, selisih keuntungan dari pelemahan rupiah juga diperoleh emiten yang pemasukan dan biayanya dalam denominasi yang berbeda. Misal, emiten yang pendapatannya dalam dollar AS, tapi mencatatkan biaya dalam rupiah, seperti PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL).

Walau SRIL impor bahan baku, hal ini masih diimbangi pendapatan. Apalagi, SRIL getol berekspansi ke luar negeri. Perusahaan tekstil yang dikenal dengan nama Sritex ini mengerjakan pakaian militer untuk 30 negara. Yang teranyar, SRIL kembali memenangkan tender pakaian tentara Jerman dan Malaysia. SRIL baru saja mengubah pencatatan laporan keuangannya dari rupiah menjadi dollar AS. Hal ini demi menghindari kecemasan volatilitas nilai tukar.

William menilai, perubahan pembukuan SRIL bisa membuat laba selisih kursnya tak terlihat. Meski begitu, perubahan itu membuat perhitungan laporan keuangan menjadi lebih mudah. Sebab, sebagian besar pendapatann SRIL memang dari ekspor.

Menurut William, emiten yang berbasis ekspor akan meraih untung dari selisih penguatan dollar AS. Misalnya, emiten perkebunan dan pertambangan yang menjual produknya ke luar negeri. Di sektor perkebunan sawit, William melihat ada beberapa emiten yang bisa meraih untung dengan apresiasi dollar AS. Mereka adalah Astra Agro Lestari (AALI), Salim Ivomas Pratama (SIMP), PP London Sumatra Indonesia (LSIP) dan Dharma Satya Nusantara (DSNG).

Sedangkan prospek harga komoditas tambang masih berat. Reza mengatakan, tren penurunan harga komoditas justru menyebabkan kinerja keuangan emiten tersendat. Dus, kenaikan dollar AS tak mampu mengkompensasi jebloknya harga komoditas tambang.

Meski begitu, William masih melihat secercah harapan di sektor pertambangan. Menurut dia, harga timah masih bagus. Hal ini akan menguntungkan PT Timah Tbk (TINS). Kemudian harga bauksit masih aman sehingga bisa menjaga kinerja keuangan Aneka Tambang (ANTM).

William optimistis, rupiah akan terapresiasi di akhir tahun ini. Pemerintah tengah berpikir untuk jangka panjang. Saat ini pun kondisi perekonomian Indonesia cukup baik berkat adanya deflasi, cadangan devisa kuat dan transaksi berjalan stabil. William memprediksi rupiah di Rp 12.000-Rp 13.000 per dollar AS pada akhir tahun ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Uji Agung Santosa