KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tak seperti pada komoditas mineral, hilirisasi alias Peningkatan Nilai Tambah (PNT) di komoditas batubara tampaknya masih sulit terlaksana. Dari tujuh produk hilirisasi batubara yang tertuang dalam regulasi, hingga kini baru dua produk yang sudah berhasil secara komersil. Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono mengungkapkan, penerapan teknologi dan kalkulasi keekonomian menjadi faktor paling dominan yang menghambat perusahaan dalam melakukan PNT batubara. "Ya, kurang lebih begitu, karena faktor teknologi dan keekonomian," katanya saat dihubungi Kontan.co.id, Jumat (12/7). Bambang menerangkan, pemerintah sejatinya telah memberikan kerangka regulasi terkait PNT untuk komoditas batubara. Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2010 juncto PP Nomor 77 tahun 2014, pasal 94 ayat 1. Kemudian, diturunkan ke dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2018, Pasal 16.
Baca Juga: Harga emas Antam secara teknikal berada di area bullish, simak rekomendasi analis Pada pokoknya, kata Bambang, regulasi tersebut mengatur jenis PNT batubara yang terbagi ke dalam tujuh skema dan produk. Yakni pembuatan kokas (cokes making), peningkatan mutu batubara (coal upgrading), pembuatan
bricket batubara (coal briquetting),
coal slurry/
coal water mixture, pencairan batubara (coal liquifaction),
underground coal gasification (UCG), serta gasifikasi batubara (coal gasification). "Wajib PNT sepanjang telah tersedia teknologi dan layak secara ekonomis," imbuh Bambang. Berdasarkan data yang tercatat di Kementerian ESDM, dari ketujuh jenis skema dan produk PNT batubara, baru ada dua jenis yang telah berhasil dikembangkan dan sudah dijalankan secara komersial. Yakni
coal upgrading dan
coal briquetting. Untuk
coal upgrading, terdapat
Upgraded Brown Coal (UBC)
pilot plant yang berlokasi di Palimanan, serta PT ZJG Resources Technology di Kalimantan Utara dan 4 pemegang Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi Khusus (IUP OPK) pengolahan
upgrading batubara. Alhasil, saat ini baru ada lima IUP OPK yang mengolah
upgrading batubara.
Baca Juga: Realisasi Investasi Mineral dan Batubara Hingga Juli Baru Sebesar 35,49% dari Target Sedangkan untuk
coal briquetting, sudah dilakukan di PT Bukit Asam Tbk (
PTBA, anggota indeks
Kompas100) yang berlokasi di Sumatera Selatan serta PT Thriveni di Jambi. Berdasar data dari Kementerian ESDM,
coal briquetting PTBA memiliki
feedstock 30.000-40.000 ton dengan produk 10.000-20.000 ton briket per tahun. Sementara briket PT Thriveni memiliki
feedstock 130.000 ton dan produk briket sebanyak 79.000-85.000 ton per tahun. Hanya saja, pengembangan briket masih terkendala permintaan yang rendah. Di samping juga waktu yang lama untuk penyalaan dan masalah polusi lingkungan. Adapun, untuk skema gasifikasi batubara, saat ini tercatat hanya PTBA yang sudah mulai melakukan pengembangan. Padahal, dengan
dimethyleter (DME) yang dihasilkan dari gasifikasi batubara ini, pemerintah bisa mengurangi impor LPG. Selain itu, Syngas yang dihasilkan juga dibutuhkan untuk industri petrokimia dalam negeri. Saat ini, PTBA memulai pengembangan gasifikasi batubara di dua lokasi. Pertama di Tanjung Enim (Sumsel) yang bekerjasama dengan PT Pertamina (Persero), PT Pupuk Indonesia dan PT Chandra Asri.
Baca Juga: Aduh, belanja eksplorasi minerba tahun ini baru 4% dari target US$ 6,17 miliar Kedua, proyek gasifikasi di Peranap (Riau) yang bekerjasama dengan Pertamina dan Air Products and Chemicals Inc. Rencananya, proyek gasifikasi ini baru mulai beroperasi komersial pada tahun 2024. "(Selain PTBA) belum ada lagi yang melaporkan (untuk melakukan gasifikasi batubara)," kata Bambang.
Mengenai hal ini, Ketua Indonesia Mining Institute (IMI) Irwandy Arif sependapat bahwa hilirisasi batubara masih terhalang teknologi dan keekonomian. Irwandy menilai, beberapa teknologi sudah bisa diterapkan, namun baru sampai pada level
pilot project. Sedangkan dari sisi skala keekonomian, masih bellum terbukti secara komersil. "Jadi kendala ada di keekonomian. Sudah banyak yang melakukan tapi belum ada yang
economic proven," ungkap Irwandy. Terlepas dari kendala tersebut, kata Irwandy, dalam mendorong hilirisasi emas hitam ini, pemerintah perlu menyiapkan kerangka kebijakan yang konsisten. Termasuk dengan memberi insentif fiskal. "Keringanan pajak dan royalti misalnya, masih hanya di hulu. Konservasi batubara untuk jangka panjang juga harus diperhatikan," tandas Irwandy. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tendi Mahadi