Ini Harapan Pelaku Usaha Hulu Migas Supaya Tetap Betah di Indonesia



KONTAN.CO.ID - TANGERANG SELATAN. Pelaku usaha hulu migas mengusulkan sejumlah poin perbaikan untuk membuat industri migas Indonesia lebih atraktif.

Menurut pelaku usaha, pemerintah Indonesia harus melakukan sejumlah perbaikan kebijakan hingga membuat perencanaan jangka panjang yang selaras dengan transisi energi.

Adapun sejumlah poin tersebut tertuang di dalam paket kebijakan atau white paper yang disusun dengan tajuk Achieving Resilience in the Energy Transition to Safeguard Indonesia’s Economic Growth & Sustainable Development.


Direktur Riset Hulu dan Manajemen Karbon Wood Mackenzie Andrew Harwood menyatakan Indonesia membutuhkan banyak aktivitas investasi dan eksplorasi migas untuk mengembangkan potensi yang melimpah.

“Kami telah mengidentifikasi beberapa blockers terhadap investasi migas di Indonesia. Dengan ini Wood Mackenzie dan IPA telah mengidentifikasi empat bidang perbaikan yang jika disikapi dengan cermat, berpotensi meningkatkan daya tarik investasi secara material,” ujarnya dalam Focus Discussion 1 di IPA Convex 2023, Rabu (26/7).

Baca Juga: Ini Strategi SKK Migas Dorong Investasi Lebih Moncer

Empat bidang perbaikan itu ialah sebagai berikut;

  • Pertama, daya saing fiskal. IPA menilai saat ini insentif yang diberikan oleh pemerintah Indonesia terbatas pada proyek-proyek yang ada. Selain itu, pelaku usaha menilai masih kurangnya fleksibilitas dalam bagian pemerintah dan pemulihan biaya.
  • Kedua, stabilitas fiskal. Perubahan kebijakan yang dilakukan tiba-tiba dan sepihak membuat ketidakpastian dalam berusaha. Pelaku usaha menilai dampak dari persyaratan, dan keterlambatan dalam menyelesaikan Revisi Undang-Undang (RUU) Migas menimbulkan tantangan bagi perencanaan jangka panjang dan mengikis kepercayaan diri investor untuk menjalankan bisnis di Indonesia.
  • Ketiga, kemudahan berbisnis. Harwood menjelaskan lebih lanjut, penundaan dalam persetujuan proyek, ketidakselarasan dalam tindakan regulasi, dan kurangnya visi jangka panjang yang jelas untuk inisiatif CCS meningkatkan kerumitan.
  • Keempat, investasi E&P net-zero. Ketentuan terbatas untuk pengurangan emisi untuk lingkup 1-3 dan offset menghambat investasi dari investor yang sadar lingkungan dengan keberlanjutan perusahaan sasaran.
Untuk menjawab ini, Wood Mackenzie dan IPA merekomendasikan empat tindakan yang bisa diambil oleh Indonesia.

Harwood menyatakan, Indonesia perlu membuat roadmap pengembangan energi jangka panjang yang mencakup tujuan dan garis besar transisi energi dan peran yang dimainkan oleh berbagai pengungkit energi dalam lanskap energi dekarbonisasi Indonesia di masa depan.

Rekomendasi kedua, menetapkan kerangka hukum menyeluruh. Kerangka ini harus mengatur semua kegiatan E&P di Indonesia dan meningkatkan stabilitas regulasi, transparansi, dan kemudahan berbisnis.

“RUU Migas adalah salah satu peraturan fundamental yang bisa meningkatkan transparansi, kemudahan berbisnis untuk menarik investasi baru,” ujarnya.

Baca Juga: Industri Hulu dan Tengah Migas Menderita Akibat Kebijakan Gas Murah

Rekomendasi ketiga, mendesain ulang rezim fiskal. Harwood menjelaskan, Indonesia bisa menganalisis setiap istilah fiskal dan dampak relatifnya pada pengembalian kontraktor.

Rekomendasi keempat, pengenalan framework penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) nasional.

Diharapkan Indonesia dapat mengembangkan kerangka transparan yang selaras dengan praktik Internasional dapat menjadi langkah promosi menuju industri migas yang rendah karbon.

“Framework ini akan menyiapkan ruang untuk dekarbonisasi, aturan nilai ekonomi bisa dihasilkan dan memberikan sinyal yang kuat bahwa Indonesia sangat suportif dan mempermudah upaya dekarbonisasi,” tandasnya.

SVP Petronas Malaysia Petroleum Management, Firouz Asnan mengungkapkan Indonesia harus lebih terbuka jika ingin menarik lebih banyak investasi.

Baca Juga: Sejumlah KKKS Asing Ini Hengkang dari Proyek Migas Indonesia, Ada Apa?

Jika melihat Malaysia, meskipun dari sisi ukuran jauh lebih kecil dibandingkan Indonesia namun untuk urusan penemuan migas dan investasi yang masuk Malaysia jauh lebih unggul.

"Perubahan yang dibutuhkan adalah adanya kebutuhan untuk memastikan adanya investasi yang terus menerus, bagaiamana kita bertumbuh kalau pasar tidak bertumbuh untuk bisa berubah kita harus berubah kita harus lebih terbuka. Malaysia itu kecil tapi tetap saja kita punya penemuan (migas) 3 tahun lalu," ungkap Firouz.

Menurut dia, pemerintah juga harus lebih fleksibel. Terutama dari sisi kontrak kerja yang ditawarkan kepada para pelaku usaha.

Firouz menilai kontrak yang fleksibel tidak akan berdampak negatif karena yang utama adalah adanya stabilitas dalam kebijakan.

"Selama covid kita memperkenalkan tiga term baru sekarang ini kita punya 11 PSC, yang penting adalah fundalmental kita untuk menjamin stabilitas mereka masuk sistem," jelas Firouz.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Anna Suci Perwitasari