JAKARTA. Pelaku industri pendukung minyak dan gas meminta ke pemerintah agar belanja terkiat proyek minyak dan gas bisa diprioritaskan untuk industri dalam negeri. Kebijakan ini dinilai bisa menjadi katalis positif bagi industri minyak dan gas yang tengah lesu karena turunnya harga minyak dunia. Kris Wiluan, Presiden Direktur PT Citra Tubindo Tbk (CTBN) bilang, proyek industri pendukung minyak dan gas per tahun mencapai US$ 12 miliar - US$ 15 miliar. Namun, selama ini proyeknya dikerjakan oleh perusahaan luar negeri. "Padahal ini bisa dikerjakan pelaku industri negeri. Ini bisa memberikan serapan tenaga kerja, peningkatan ekonomi dan sebagainya," ujar Kris usai bersua Menteri Perindustrian pada Senin (25/5).
Dalam kesempatan yang sama, I Gusti Putu Suryawirawan, Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika Kementerian Perindustrian bilang, industri pendukung migas seperti produsen pipa baja hanya memperoleh serapan 10% saja dari total belanja itu. "Rendahnya serapan kepada industri dalam negeri itu ya karena tidak perencanaan pengadaan. Seharusnya jelas disampaikan kapan, dimana, butuh berapa, lalu dikaitkan dengan kemampuan industri," ujar Putu. Salah satu penyebab kurang berpihaknya pengadaan industri pendukung migas kepada industri dalam negeri, adalah karena tidak harmonisnya peraturan standar minimal tingkat kandungan dalam negeri antara yang dikeluarkan Kementerian Perindustrian dengan Satuan Kerja Khusu pelaksana Minyak dan Gas (SKK Migas). "Di dalam Pedoman Tata Kerja (PTK) No 007 yang dirilis SKK Migas terdapat pasal yang mengatur keberpihakkan dalam negeri. Ini berbeda dengan pedoman Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN) yang dikeluarkan Kementerian Perindustrian," ujar Kris. Dalam PTK No.007 tahun 2015 pasal dua tertera mengenai keberpihakan dalam negeri. Disebutkan bahwa, peserta harus memiliki Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) sebesar 25%. Sedangkan dalam aturan P3DN, minimal TKDN berkisar 20% - 40% berbeda-beda menurut jenis pengadaannya. Putu bilang, kebutuhan pipa baja untuk pengeboran minyak dalam setahun kira-kira 180.000 ton. Sedangkan kebutuhan pipa baja salur untuk industri migas sekitar 200.000 ton dalam setahun. CTBN memiliki fasilitas produksi pipa baja di Batam. Perusahaan memiliki fasilitas produksi pipa baja sebesar 200.000 ton per tahun. Namun utilitas produksi saat ini jeblok hingga di bawah dari 30%
Pelemahan harga minyak dunia, juga membuat permintaan pipa baja sebagai industri pendukung migas juga menurun. Tahun lalu porsi ekspor perusahaan sebesar 70% dari total pendapatan. Namun saat ini porsi ekspor hanya 20%, ekspor ke Timur Tengah dan Amerika Serikat. Kris memperkirakan pendapatan perusahaan tahun ini bisa merosot. Namun ia tidak menjelaskan berapa besar potensi penurunannya. Ia juga mengaku tidak berapa besar belanja modal yang digelontorkan perusahaan untuk tahun ini. Usulan untuk memprioritaskan pengadaan dari industri domestik untuk proyek migas mendapat dukungan dari Mas Wigrantoro Roes Setiyadi, Chief Executive Officer (CEO) PT Bakrie Pipe Industries (BPI). "Bagus itu, kami mendukung," ujar Mas Wigrantoro pada KONTAN, Senin (25/5). Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Asnil Amri