Ini Instrumen Investasi Dapen yang Kerap Bermasalah



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Persoalan pengelolaan dana pensiun (Dapen) Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terus bergulir. Terbaru, terdapat 4 dapen BUMN sedang dalam proses investigasi sebab imbal hasilnya hanya di bawah 4%.

Pemerhati Dana Pensiun sekaligus Staf Ahli Asosiasi Dana Pensiun Indonesia (ADPI), Bambang Sri Mulyadi menyatakan bahwa keempat dapen BUMN yang memiliki imbal hasil di bawah 4% tersebut perlu dilakukan pemetaan atau analisis yang lebih teliti.

“Karena sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 3 tahun 2015, sudah ada pembatasan terhadap investasi yang risikonya tinggi,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Jumat (8/6).


Bambang menjelaskan, berdasarkan data statistik OJK rata-rata imbal hasil dapen tahun 2022, untuk Program Pensiun Manfaat Pasti (PPMP) memiliki return on investment (ROI) sebesar 6,59% (realisir) dan 6,45% (Realisir + Unrealise/UR).

Dapen Program Pensiun Iuran Pasti (PPIP) memiliki ROI sebesar 6,37% (realisir) dan 7,32% (Realisir + UR), serta Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) memiliki ROI sebesar 4,82% (Realisir) dan 3,45% (Realisir + UR).

Baca Juga: OJK Tunggu Hasil Evaluasi Dapen BUMN Bermasalah

Asal tahu saja, ROI adalah rasio untuk menunjukkan besaran keuntungan dan kerugian dari suatu aset yang diinvestasikan.

Bambang menyimpulkan bahwa investasi pada pasar modal untuk dana pensiun PPMP, memiliki nilai pasar yang lebih rendah sebesar 0,14%. Sedangkan untuk dana pensiun PPIP, kata dia, positif sebesar 0,95%.

“Nah sekarang bagaimana dengan 4 Dapen BUMN tersebut, apakah kinerja investasi di bawah rata-rata tersebut dikarenakan Un Realise (UR), apakah ada portofolio yang tidak menghasilkan,” terangnya.

Lebih lanjut, Bambang mengungkapkan bahwa instrumen investasi dapen yang kerap kali bermasalah di antaranya reksadana tidak berkembang, kontrak pengelolaan dana (KPD) tidak berkembang, dan saham di bursa nilai pasarnya lebih rendah dari nilai perolehan.

“(Selanjutnya) obligasi yang emitennya gagal atau terlambat bayar kupon dan pokok. (Serta) adanya missmatch antara kebutuhan likuiditas dengan durasi investasi,” ungkapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Anna Suci Perwitasari