KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejak kemunculannya mulai dirasakan pada 2016 lalu, industri fintech lending tampaknya masih cukup berat untuk konsisten mendapat untung. Beberapa faktor pun dinilai menjadi penyebabnya. Sebagai informasi, data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Maret menunjukkan industri ini mengalami rugi sekitar Rp 25,41 miliar. Padahal, bulan sebelumnya sempat memperoleh untung sekitar Rp 7,56 miliar. Direktur Eksekutif Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Kuseryansyah melihat, mayoritas pemain fintech lending belum bisa meraup untung karena status berizin dari OJK baru dikantongi.
Menurutnya, status berizin berdampak signifikan karena hal tersebut bisa memberikan kepercayaan pada pemberi dana (
lender) dari setiap pemain. Meskipun, ketika masih berstatus terdaftar, beberapa lender mau memberi dana meskipun kecil.
Baca Juga: Dorong Digitalisasi, Astra Financial Serius Garap Bisnis Fintech Dengan kondisi saat ini dimana semua pemain fintech lending telah mendapatkan izin, Kus pun optimistis bahwa saat ini industri ini sedang berada di jalur yang benar untuk mulai mendapat untung. Menurutnya, butuh waktu dua hingga tiga tahun setelah berizin. “Kalau tahun 2024 atau 2025 ada yang negatif, baru kita lihat apakah mereka salah strategi pemasaran termasuk strategi bisnisnya atau salah dari sisi governance-nya,” ujar Kus. Ia turut menambahkan bahwa pemain yang baru mendapat berizin di masa pandemi Covid-19 pun juga sedikit tertahan kondisi. Dimana, para pemain ini tidak bisa leluasa dalam menyalurkan pendanaan. Selain itu, segmen yang berbeda-beda dari pemain fintech lending ini membuat peluang untuk mencatat keuntungan juga berbeda. Misalnya, ada beberapa pemain yang bergerak di segmen yang memang masih kecil. Sementara itu, Kepala Departemen Pengawasan IKNB 2B OJK, Bambang W. Budiawan menambahkan bahwa persebaran market share juga dialami di industri ini. Berdasarkan catatannya, per April 2022, 20% dari jumlah penyelenggara menguasai pasar sekitar 80%. Bambang bilang pihaknya ingin para pemain yang masih kecil terus dapat meningkatkan kontribusinya lebih besar. Terlebih, untuk kontribusi penyalurannya di sektor produktif. “Melalui dorongan pembuatan ekosistem agar para penyelenggara dapat memperluas kerja sama dengan berbagai pihak khususnya dalam penyaluran kepada sektor produktif,” ujar Bambang. Salah satu pemain fintech lending yang masih mengalami rugi salah satunya Akseleran. Dari data laporan keuangan 2021 yang tertera dalam situsnya, Akseleran masih mencatat rugi Rp 9,41 miliar, lebih baik dari tahun sebelumnya yang mencapai rugi Rp 23,84 miliar. CEO Akseleran Ivan Nikolas bilang, rugi yang dialami lebih banyak karena biaya operasional. Memang, beban yang harus ditanggung Akseleran pada 2021 mencapai sekitar Rp 44,7 miliar. Ivan menyebut biaya yang tinggi itu termasuk wajar untuk startup. Namun, perlu diimbangi dengan skala usaha yang terus ditingkatkan dalam waktu yang harus cepat. “Tahun ini targetnya sudah
cashflow positif,” ujar Ivan. Tak hanya Akseleran, pemain fintech lainnya Modalku pun juga masih menutup tahun 2021 dengan kerugian. Tercatat, platform yang hadir di Indonesia sejak 2016 ini masih mencatat rugi tahun berjalan sebesar Rp 22,3 miliar.
Baca Juga: Dampak Pajak, Jumlah Rekening Lender Ritel Anjlok Co-Founder & CEO Modalku Reynold Wijaya bilang pihaknya saat ini berfokus untuk melakukan pengembangan melalui inovasi dan mengembangkan produk layanan agar bisa memberikan akses pendanaan dan menjangkau lebih banyak UMKM yang berpotensi. “Salah satunya melalui penguatan di bidang teknologi agar dapat memberikan kepuasan terhadap pengalaman pengguna, proses transaksi yang semakin lancar, serta proses credit scoring yang lebih efisien,” ujar Reynold. Investree pun juga menambah daftar fintech yang masih mencatat kerugian. Menutup tahun 2021, platform ini mencatat kerugian sebesar Rp 27,8 milar karena beban operasional yang digelontorkan pun juga besar senilai Rp 158,3 miliar. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto