Ini Kata Akseleran Soal Anggapan Bahwa PPN Pinjol Harus Dikaji Ulang



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah diminta untuk mengkaji ulang pemungutan pajak pertambahan nilai (PPN) sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 69 Tahun 2022 yang sudah mulai berlaku pada 1 Mei 2022 silam.

Peer-to-peer (P2P) lending menjadi salah satu jenis layanan yang diwajibkan untuk membayar pajak tersebut. Padahal Direktur Eksekutif Indonesia Economic Fiscal (IEF) Research Institute Ariawan Rahmat mengatakan bahwa P2P lending sama seperti lembaga jasa keuangan bank di mana sudah sepantasnya disamakan dalam hal perlakuan PPN-nya.

Co-Founder dan Chief Executive Officer (CEO) Akseleran Ivan Nikolas Tambunan mengaku bahwa perusahaannya telah menerapkan pungutan PPN sebesar 11%. Namun, Ia juga menyetujui apa yang disampaikan oleh Ariawan untuk mengkaji kembali PMK Nomor 69 Tahun 2022 tersebut.


“Seharusnya layanan jasa keuangan terkait pinjam meminjam itu di-exclude dari PPN. Sama halnya dengan bank, multifinance, dan lembaga jasa keuangan lainnya,” ujar Ivan pada Kontan, Senin (4/9).

Baca Juga: Fintech 360Kredi Sebut Telah Penuhi Modal Minimum Rp 2,5 Miliar

Ivan juga menyampaikan bahwa Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak memandang penyelenggara Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI) ini sebagai platform, padahal penyelenggara LPBBTI merupakan lembaga jasa keuangan.

“Apalagi penyelenggara LPBBTI menyasar segmen yang underserved atau unbanked, seharusnya malah dikasih insentif lebih,” tambahnya.

Ia juga merasa bahwa dengan peraturan tersebut perusahaannya merasa itu memberatkan, dan juga menyayangkan hal tersebut tidak terjadi pada lembaga keuangan yang lain.

“Jadi tidak level playing field,” tandasnya.

Selain itu, dengan tidak menyebutkan nominalnya Ivan mengaku setelah menerapkan peraturan tersebut, terdapat kenaikan biaya 11% dari pendapatan Akseleran.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tendi Mahadi