KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) meminta Pemerintah Indonesia melonggarkan kebijakan larangan ekspor komoditas logam, seperti bijih nikel. Hal ini disampaikan IMF dalam Executive Board Concludes 2023 Article IV Consultation with Indonesia pada Minggu (25/6). IMF mengaku menyambut baik niat Indonesia meningkatkan nilai tambah (value added) mineral melalui larangan ekspor tersebut. Namun, kebijakan Indonesia itu dinilai belum didasarkan pada analisis biaya-manfaat yang lebih lanjut. Kebijakan ini juga dinilai belum dirancang untuk meminimalkan dampak lintas batas.
Analis Mirae Asset Sekuritas Indonesia Rizkia Darmawan menilai, kebijakan hilirisasi nikel yang dilakukan Indonesia rentan akan gesekan geopolitik global. Hal ini mengingat potensi industri kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) yang menarik. Ditambah, posisi Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki reserve dan produksi nikel terbesar di dunia. Menurut dia, kebijakan tegas yang diambil pemerintah terkait nikel dan hilirisasinya saat ini adalah langkah awal dari perjalanan panjang menuju Indonesia yang berdaya saing dengan menyuplai produk dengan nilai tambah.
Baca Juga: Soal Larangan Ekspor Nikel, Kapan Luhut Bakal Temui IMF? Senada, analis Panin Sekuritas Felix Darmawan menilai, hilirisasi nikel yang saat ini dilakukan membawa manfaat keekonomian. Diantaranya derasnya arus investasi khususnya di daerah penghasil nikel seperti Sulawesi dan Maluku Utara, peningkatan nilai tambah dari produk hilir, pembukaan lapangan kerja, hingga peningkatan status Indonesia yang ingin menjadi pemain inti dari kendaraan listrik. Sebab, Indonesia memiliki keunggulan dari ketersediaan bahan baku dan upah tenaga kerja yang kompetitif “Namun patut diperhatikan juga terkait potensi penambangan dan ekspor bijih nikel ilegal yang mana juga dapat merugikan bagi negara yang sedang berupaya utk membangun industrialisasi nikel,” kata Felix, Kamis (6/7). Di satu sisi, jika keran ekspor bijih nikel dibuka kembali, Felix khawatir hal ini dapat berdampak pada menurunnya harga nikel, karena Indonesia merupakan salah satu produsen nikel terbesar di dunia. Terlebih, saat ini China sebagai konsumen nikel terbesar di dunia relatif stagnan pertumbuhan ekonominya, khususnya dari aktivitas konstruksi dan propertinya. Rizkia mengamini, progress dari hilirisasi ini perlu terus diawasi oleh setiap pemangku kepentingan (stakeholders), agar ke depannya industri nikel menguntungkan untuk negara. Perlu ada sinergi secara holistic dari pemerintah dan perusahaan dalam membangun infrastruktur penunjang seperti pabrik pengolahan (smelter), mulai dari sisi sumber pembiyaan dan juga produksinya yang lebih berkelanjutan (sustainable). Sehingga produk turunan nikel yang dihasilkan dari smelter di Indonesia lebih punya daya saing, dengan tidak melupakan sisi kehijauan (green).
Tidak sampai di situ, setelah infrastruktur penunjang yang menghasilkan bahan baku baterai terlaksana, perjalanan pengolahan nikel harus dipastikan sampai dengan kondisi hilir. Yakni sampai dengan produk baterai atau mungkin sampai dengan EV-nya itu sendiri. “Jadi, bisa dibayangkan berapa lama waktu yang dibutuhkan sampai dengan terlaksana,” kata Rizkia.
Baca Juga: Penerimaan Negara Jangka Menegah Akan Lebih Besar Berkat Hirilisasi Tambang Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat