KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga batubara yang naik turun akibat perang dagang, membuat sejumlah perusahaan berhati-hati. Tapi tidak untuk PT Adaro Energy Tbk (
ADRO). Presiden Direktur Adaro Energy Garibaldi Thohir mengaku, harga batubara memang di luar kontrol. Tapi permintaan
(demand) masih relatif baik. "Dalam harga yang volatile ini, saya melihat
demand relatif oke, dia nggak naik tapi stabil. Tapi saat ini permasalahannya ada dari sisi
supply," kata dia, Rabu (15/5).
Menurutnya,
supply batubara saat ini terganjal oleh pembiayaan untuk tambang yang baru. Sebab, bank saat ini cenderung selektif memberikan pembiayaan untuk proyek batubara. "Kalau tidak ada
financing baru, berarti
supply baru juga tidak meningkat. Kalau
supply tidak meningkat karena tidak ada pemain baru berarti harga stabil. Di atas US$ 80, sekarang di US$ 85 per ton," tambah pria yang akrab disapa Boy itu. Apalagi menurut dia, di tahun depan ia memprediksi kebutuhan batubara akan naik seiring dengan banyaknya PLTU yang beroperasi. "Tahun depan PLTU Batang jadi, terus juga ada yang di Vietnam, Jepang, Thailand, India juga. Nah, untuk tahun ini belum ada baru, jadi
once sudah ada yang baru maka
demand akan naik, tapi balik lagi tergantung
supply," jelas Boy. Tapi lagi-lagi, ia bilang pasokan batubara di tahun depan masih akan terbatas karena kesulitan
financing untuk proyek baru. "
Financing pertambangan itu makin ketat, tidak seperti di 2011 batubara
booming semua mau main batubara sehingga
supply meningkat," katanya. Boy memperkirakan, harga batubara akan cenderung stabil karena pasokan tidak meningkat drastis. Adaro menargetkan, meski
demand tahun depan meningkat, pasokan batubara ADRO masih akan tetap di 54 juta ton-56 juta ton. Alasannya, pengoperasian PLTU baru ini sudah masuk dalam perhitungan ADRO.
"Nggak terpengaruh, karena kami memiliki kontrak jangka panjang. Jadi kontrak-kontrak itu sudah kami perhitungkan karena ada yang habis jadi sudah masuk
schedule," lanjut Boy. Tapi untuk jangka menengah (2-3 tahun), Adaro akan fokus meningkatkan produksi
coking coal menjadi tiga juta ton dari saat ini hanya satu juta ton di domestik. Sebab, perusahaan mengaku
coking coal memiliki margin yang cukup besar. Pasalnya,
coking coal ini bisa menjadi bahan untuk baja dan pembangunan infrastruktur. Pun pemakaiannya juga bisa bisa tergantikan. Apalagi sumber daya untuk
coking coal juga terbatas. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati