Ini kata Pelindo II soal renegosiasi kontrak JICT



JAKARTA. Renegosiasi kontrak antara Pelindo II dan Hutchison Port Indonesia (HPI) atas pengelolaan anak usaha keduanya, PT Jakarta International Container Terminal (JICT) menuai polemik. Hal ini lantaran pihak Kementerian Perhubungan menganggap renegosiasi kontrak tersebut menyalahi peraturan perundang-undangan dan sudah saatnya bagi Pelindo untuk mengembangkan pelabuhan di Indonesia secara mandiri. R. J. Lino, Direktur Utama Pelindo II mengomentari perihal tersebut. Menurutnya, ada perbedaan pandangan antara pemerintah dengan Pelindo selaku badan usaha meski statusnya sebagai perusahaan pelat merah. "Ini soal business to business, kami tidak ingin kehilangan momentum," ujarnya, (6/7). Perjanjian kontrak tersebut akan habis pada 2019 mendatang. Jika renegosiasi tidak segera dilakukan, maka akan banyak hal negatif yang berpotensi terjadi. Salah satunya adalah Pelindo II tidak akan memperoleh pemasukan sama sekali. Lino menjelaskan, partner yang menjadi rekan bisnis Pelindo II, dalam hal ini Hutchison paham jika renegosiasi tidak dilakukan maka kontraknya akan habis pada 2019 nanti. Nah, karena hal ini, ada kemungkinan jika nanti pengelolaan JICT terkesan asal-asalan. Bisa saja jika nanti ada fasilitas yang rusak tidak segera diperbaiki. Atau pelayanannya menjadi tidak maksimal. Dalam bisnis, hal-hal semacam ini bisa saja terjadi. Skenario terburuknya adalah, ada kemungkinan Pelindo II akan kehilangan uang muka senilai US$ 250 juta. Padahal, duit tersebut bisa dimanfaatkan untuk pengembangan pelabuhan lain yang pada akhirnya juga sejalan dan menguntungkan negara. "Jadi momentumnya memang sekarang, enggak ada lagi. Ini sangat menguntungkan dari sisi komersil," jelas Lino. Sebelumnya, Menteri Perhubungan, Ignatius Jonan mengatakan, kerjasama antara Pelindo II dan Hutchison sudah berlangsung selama 17 tahun sehingga sudah saatnya Pelindo menerapkan ilmu yang didapat selama kurun waktu tersebut. Lalu, jika ada perusahaan asing yang masuk, maka perusahaan tersebut disarankan untuk membesarkan pelabuhan lainnya seperti Teluk Bayur dan lainnya. Nah, disinilah perbedaan pandangan bisnis muncul. Perusahaan swasta tentunya berorientasi profit. Artinya, mereka akan menyasar daerah pelabuhan yang memang memberikan imbal hasil tinggi. Beda dengan BUMN yang selain mengejar profit tapi juga mengerjakan proyek-proyek bernilai bisnis negatif yang dijauhi swasta. Untuk mengembangkan pelabuhan itu investasinya besar. Negara juga masih butuh asing. "Yang penting, kami tidak meninggalkan tugas kami sebagai perusahaan negara. Swasta enggak mau masuk kalo enggak ada profit, tapi duit yang masuk (dari Hutchison misalnya), kan, bisa kami gunakan untuk membesarkan pelabuhan lain yang belum berkembang," tutur Lino.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Uji Agung Santosa