KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kebijakan kenaikan upah minimum karyawan pada awal tahun 2024 mendapat sorotan dari perwakilan pelaku industri manufaktur. Sebagai informasi, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 51 Tahun 2023 yang merupakan perubahan atas PP No. 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. Lewat beleid ini, pemerintah mengamanatkan kenaikan upah minimum per 1 Januari 2024. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W. Kamdani mengatakan, ketentuan PP No. 51/2023 yang telah disahkan tentu perlu dihormati sebagai dasar kepastian hukum dalam berusaha di Indonesia.
Walau begitu, terkait formula pengupahan yang baru ini, Apindo berharap penentuan indeks tertentu terhadap pertumbuhan ekonomi yang direkomendasikan Dewan Pengupahan harus mempertimbangkan berbagai faktor, seperti situasi ekonomi dan kondisi ketenagakerjaan di tiap daerah.
Baca Juga: Menaker Wajibkan Gubernur Umumkan UMP Paling Lambat 21 November 2023 'Ini kami rasa krusial sebagai langkah preventif untuk mencegah dampak terhadap situasi kondisi hubungan industrial yang bisa berpotensi pada penyerapan tenaga kerja," jelas Shinta, Rabu (15/11). Hal yang perlu ditekankan dalam implementasi ketentuan upah minimum provinsi (UMP) adalah semangat kesatuan yang harus senantiasa dijaga, karena ini tujuannya adalah untuk pembangunan ekonomi Indonesia. Alhasil, musyawarah mufakat lewat dialog sosial sangat penting mengingat perbedaan pendapat adalah dinamika yang pasti terjadi. Shinta melanjutkan, secara umum kinerja industri manufaktur dan ekonomi nasional berpotensi tumbuh secara positif hingga akhir 2023, bahkan melampaui capaian kuartal III-2023. Kala itu, pertumbuhan industri manufaktur tercatat sebesar 5,2% sedangkan pertumbuhan ekonomi nasional 4,94%. Optimisme ini muncul berkat adanya faktor momentum peningkatan konsumsi akhir tahun dan pengendalian yang lebih baik terhadap risiko inflasi harga pangan dan BBM serta pelemahan rupiah. Namun, pertumbuhan positif industri manufaktur hanya akan terjadi apabila transisi kepemimpinan, khususnya sepanjang kampanye Pilpres berlangsung dengan kondusif. "Dengan begitu, ketidakpastian iklim usaha atau investasi di tahun politik bisa diminimalisir untuk menciptakan ruang pertumbuhan kinerja industri dan ekonomi yang maksimal," jelas Shinta. Dihubungi terpisah, Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengaku saat ini pengusaha tekstil dan produk tekstil (TPT) tidak sedang sibuk menghitung pengaruh kenaikan upah terhadap kelangsungan bisnis. Produsen TPT lebih sibuk menghitung risiko berapa lagi pengurangan produksi dan rasionalisasi tenaga kerja.
Baca Juga: Pelaku Usaha Minta Penentuan Upah Minimum Tak Dipolitisasi Dalam berita sebelumnya, sepanjang 2023 berjalan ada sekitar 70.000 pekerja industri TPT yang terdampak rasionalisasi karyawan baik itu berupa PHK, putus kontrak, maupun dirumahkan. Sebagai perbandingan, pada 2022 lalu terdapat sekitar 80.000 pekerja industri TPT yang terkena rasionalisasi karyawan. Angka ini belum termasuk rasionalisasi karyawan TPT di kalangan IKM.
"Beberapa pengusaha TPT bahkan sudah berpikir untuk menutup pabrik. Tren penutupan pabrik ini terjadi sejak kuartal IV-2022," ungkap dia, Rabu (15/11). Saat ini, industri TPT nasional masih menghadapi tantangan penurunan permintaan ekspor dan banjirnya barang impor di pasar domestik. Sektor TPT juga terkontraksi makin dalam seiring naiknya suku bunga acuan dan pelemahan rupiah. "Di sisi lain, saat ini kebijakan pemerintah untuk mengurangi impor belum jalan, bahkan masa tenggang implementasinya sampai tiga bulan," tandas dia. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari