Ini kebohongan publik kebijakan LCGC versi YLKI



JAKARTA. Di awal kemunculannya, kebijakan pemerintah mengeluarkan Mobil murah ramah lingkungan atau Low Cost Green Car (LCGC) terus menuai kritik. Bahkan, kebijakan ini dianggap sebagai kebijakan predator yang memakan upaya pengembangan transportasi publik sebagai cara mengatasi kemacetan. Kebijakan ini juga dianggap predator karena memakan potensi penerimaan negara dari Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah (PPnBM) sekitar Rp 10 triliun setiap tahunnya. Hal itu diungkapkan Tulus Abadi, Anggota Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ) yang juga Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dalam diskusi mengenai LCGC di Warung Daun, Sabtu (28/9). Tulus bilang, kebijakan LCGC bukanlah sesuatu yang haram karena banyak negara di Eropa yang telah melakukannya. Namun, ia menilai, kebijakan itu tidak waras diberlakukan oleh Indonesia saat ini, terutama diperkotaan seperti Jakarta dan kota besar lainnya. "Hal ini menjadi sebuah paradoks dengan kebijakan mengatasi kemacetan dan mengembangkan transportasi publik yang baik," katanya. Negara berpotensi kehilangan pendapatan besar

Tulus menambahkan, kebijakan LCGC tak lain hanya menjadi ‘karpet merah’ yang diberikan pemerintah kepada produsen mobil. Pasalnya, dengan mensubsidi mobil murah berarti negara akan kehilangan potensi pendapatan yang besar. Karena itu, Tulus menyarankan, seharusnya pemerintah fokus memperbaiki transportasi publik seperti Kereta Rel Listrik (KRL) dan transjakarta yang kondisinya masih masih butuh perhatian.

LCGC dinilai telah bertentangan dengan Pola Transportasi Makro (TPM) yang ada di Jakarta, yakni mengembangkan transportasi massal yang baik, menaikan tarif parkir, dan memberlakukan Electronic Road Pricing (ERP) atau jalan berbayar. Wajar, menurut Tulus, jika Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo (Jokowi) mengirim surat ke Wakil Presiden Boediono mengenai efek yang ditimbulkan dari kehadiran LCGC. "PTM ini sudah direncanakan sejak lama dan belum dilakukan, tapi kini justru datang kebijakan yang bertolak belakang dari upaya tersebut," katanya. Kebohongan Publik


Tulus menambahkan, kebijakan LCGC sesungguhnya adalah program penciptaan mobil yang seolah-olah murah dan ramah lingkungan. Namun, kebijakan itu sejatinya hanya kebohongan publik. Ada beberapa kebohongan publik yang didengungkan pemerintah terkait LCGC tersebut. Kebohongan pertama, lanjut Tulus, soal sebutan low cost alias mobil murah. Menurutnya pemilihan istilah itu telah melecehkan masyarakat kalangan menengah ke bawah. "Dengan mulai harga Rp 75 juta per unit, pemilihan kata murah jelas merendahkan masyarakat menangah ke bawah yang prioritasnya adalah pemenuhan kebutuhan pokok," kata Tulus Kebohongan kedua adalah soal fasilitas mobil yang diperoleh konsumen. LCGC adalah mobil minimalis tanpa kelengkapan fasilitas seperti Air Conditioner (AC) dan komponen penunjang lainnya. Kalau komponen itu ditambah, maka harganya bisa mendekati Rp 100 juta atau bahkan lebih. Menurutnya, kantong pengguna sepeda motor tidak akan mampu untuk membeli LCGC yang harganya kelewat tinggi. Kebohongan lain, kata Tulis ialah sisi "green". Ia mempertanyakan dimana letak ramah lingkungannya jika LCGC menggunakan bensin bersubsidi (premium). Ia mengatakan hampir mustahil dan tidak mungkin apabila pengguna LCGC memakai bensin non subsidi atau Pertamax. Upaya agar LCGC menggunakan gas, hampir dipastikan sekedar wacana karena hingga kini infrastruktur Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) tidak juga tersedia. Selain itu, Tulus juga menyayangkan pernyataan pemerintah yang mengatakan LCGC adalah bagian dari penciptaan Mobil Nasional (Mobnas) di masa depan. "LCGC masih menggunakan komponen impor dan menggunakan merek dari ATPM, lalu bagaimana mungkin mengembangkan Mobnas dari sisi ini dan tidak ada sejarah transfer teknologi bisa dilakukan dari sini," paparnya. Lebih jauh, Tulus bilang, ada kebohongan publik lain yang coba disuarakan pemerintah, yakni LCGC akan diekspor ke luar negeri. Padahal, Indonesia tak punya reputasi dari sisi ekspor mobil. Selain itu, salah satu pejabat mengatakan LCGC ditujukan untuk masyarakat pedesaan. Faktanya, dari 30.000 unit yang akan diproduksi sampai akhir tahun ini, 85% pembelinya adalah orang yang berdomisili di Jabodetabek. Tulus menyebut kebohongan ini tak lain adalah sekedar klaim utopis dari Pemerintah sebagai pembenaran atas kebijakan ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dikky Setiawan