Ini kelemahan ekonomi Indonesia versi Darmin



JAKARTA. Bank Indonesia (BI) menilai ada sebab kelemahan pada ekonomi Indonesia, bahkan sejak zaman orde baru lalu. Hal itu disebabkan oleh ketidakseimbangan antara sisi internal dan eksternal perekonomian Tanah Air.

"Kuncinya di internal cukup bagus, tetapi dari eksternalnya kita masih lemah. Bahkan sejak orde baru, kelemahan itu sudah eksis. Kita belum mampu mengatasinya," kata Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution di acara Kompas100 Forum, CEO Bicara Kabinet Mendengar: Tumbuh Lebih Tinggi atau Stagnan di Jakarta Convention Center (JCC) Jakarta, Rabu (28/11).

Menurut Darmin, kondisi perekonomian dari sisi internal ini, diukur dari sisi inflasi maupun kesempatan kerja. Di sini, nilai inflasi maupun kesempatan kerja masyarakat Indonesia dinilai masih bagus.


Namun dari sisi eksternal, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih ditopang oleh neraca pembayaran yang masih belum stabil. "Pertumbuhan ekonomi tinggi itu selalu dibarengi oleh neraca pembayaran yang surplus. Kita belum mampu atasi itu," tambahnya.

Darmin menyebutkan, Indonesia harus bisa mencontoh China. Di negeri tirai bambu tersebut, mereka bisa bertahan selama 30 tahun terakhir tanpa mengalami kelemahan struktural karena China tidak memiliki kelemahan seperti Indonesia.

Menurut Darmin,  ekonomi Indonesia masih mirip dengan India. Sebab, kedua negara ini juga sama-sama menerapkan pola ekonomi yang hampir sama. "Indonesia dan India itu sama, mereka juga repot, khususnya untuk keluar dari kelemahan ini," jelasnya.

Solusinya, kata Darmin, pemerintah harus segera menyelesaikan sumber kelemahan itu. Selama ini, masyarakat kita selalu fokus ke sektor primer, pertambangan dan industri. Namun sektor ini sebenarnya masih memerlukan bahan baku yang selalu impor. "Ini yang jadi persoalan," jelasnya.

Darmin menilai bahwa harus ada wirausaha lokal yang masuk di bisnis bahan baku, bahan penolong atau bahan modal yang khususnya bisa dipakai di industri dalam negeri. Sehingga akan mengurangi ketergantungan industri terhadap impor.

Solusi kedua, pemerintah dinilai masih terlambat dalam mengatur bahan bakar minyak (BBM). "Soal BBM, ini bukan soal pemakaian yang berlebih, tapi sebagian besar subsidi BBM justru digunakan oleh kelas menengah yang jumlahnya besar. Mereka yang pakai itu," katanya. (Didik Purwanto/Kompas.com)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Asnil Amri