Ini kesaksian Kepala Bakamla dalam korupsi satelit



JAKARTA. Hari ini (26/4), jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadirkan Kepala Bakamla Laksamana Madya Arie Soedewo untuk memberi kesaksian terhadap Direktur Utama PT Merial Esa, Fahmi Darmawansyah.

Dalam kesaksiannya, Arie menjelaskan mengenai pengadaan satelit monitoring (satmon) di Bakamla. Ia juga mengelak memberi instruksi pada Bambang Udoyo agar meminta jatah, yang diberi istilah dengan 'dana komando'.

"Apakah ada permintaan uang atas arahan saksi?" tanya salah satu jaksa KPK.


"Tidak benar," jawab Arie.

"Ada arahan untuk menyampaikan uang kepada Bambang Udoyo apakah bapak tidak pernah memberi instruksi?" tanya jaksa lagi.

"Saya tidak memberi instruksi. Saya mengarahkan kepada aturan," timpal Arie.

"Tahu istilah dana komando?" jaksa masih bertanya.

"Tidak tahu," jawab Arie singkat.

Selain sanggahan-sanggahan tersebut, Arie menjelaskan proses penganggaran untuk Bakamla. Jumlah dana yang didapat dari APBN-P 2016 untuk Bakamla hampir mencapai Rp 1,5 triliun. Jumlah tersebut di luar APBN murni sebesar Rp 350 miliar.

"Jadi saya merencanakan prioritas pembangunan surveillance, sistem pengawasan yang terintegrasi, saya butuh, berdasarkan tim yang saya buat, ada beberapa item untuk melengkapi bukan mengubah atau menambah," ujar Arie yang sempat dua kali mangkir dari panggilan jaksa.

Soal perkenalannya dengan terdakwa Fahmi Darmawansyah, Arie sempat menyebutkan ia kenal dalam kepentingan penyewaan rumah dinas.

"Waktu itu saya sedang mencari rumah dinas untuk disewa. Kemudian dikenalkan kepada Fahmi Saidah. Setelah saya pertimbangkan, saya milih rumah yang saya tempati sekarang adalah milik PT Timah yaitu BUMN dan tidak ada kaitan dengan masalah pekerjaan atau nantinya akan berkaitan dengan masalah pekerjaan di Bakamla," tutur Arie.

"Jadi rumah itu bukan fasilitas dari terdakwa (Fahmi Darmawansyah) ?" tanya jaksa.

"Tidak Pak," jawab Arie.

Fahmi didakwa menyuap empat pejabat di Badan Keamanan Laut (Bakamla). Suap itu diberikan agar PT Merial Esa itu memenangi proyek di Bakamla.

Ia diduga bersama-sama dengan Muhammad Adami Okta dan Hardy Stefanus memberikan sesuatu berupa uang sebesar S$ 104,500 kepada Nofel Hasan, uang sebesar Rp 120 juta kepada Tri Nanda Wicaksono, uang sebesar S$ 105.000 kepada Bambang Udoyo dan sebesar S$ 100.000, US$ 88.500 dan euro 10.000 kepada Eko Susilo Hadi.

Fahmi didakwa melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie