KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah berniat membatasi pemberian izin penyediaan listrik dan penggunaan captive power demi mengatasi masalah kelebihan pasokan listrik yang dihadapi PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). Rencana penerapan kebijakan tersebut dinilai tidak menjamin adanya penyelesaian masalah yang mempengaruhi kinerja PLN. Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa mempertanyakan alasan persoalan PLN yang harus ditanggung oleh banyak pihak, sedangkan pemerintah sendiri belum melakukan koreksi yang bersifat substansial. “Maksud saya terkait koreksi adalah dengan melakukan review terhadap proyek ketenagalistrikan 35.000 MW,” ujar dia, Senin (2/11). Menurutnya, salah satu tinjauan terhadap proyek listrik 35 GW tersebut adalah menunda atau membatalkan proyek-proyek pembangkit yang belum sempat dibangun atau belum masuk kontrak. Kemudian proyek pembangkit tersebut digantikan dengan pembangkit energi terbarukan.
Di kawasan Jawa dan Sumatera yang mengalami kondisi kelebihan pasokan listrik juga perlu dilakukan tindakan optimalisasi pembangkit. Caranya, pembangkit yang dinilai tidak efisien atau sudah berusia tua sebaiknya dihentikan operasionalnya atau bahkan dipensiunkan lebih dini. Selain itu, perlu dilakukan pula renegosiasi dengan IPP PLTU untuk menurunkan capacity factor dan capacity payment. “Khusus renegosiasi ini tidak saya lihat sudah dilakukan dan tidak ada arah ke sana. Padahal, renegosiasi IPP bisa menyelamatkan keuangan PLN,” ungkap Fabby. Baca Juga: Pemerintah minta industri gunakan listrik PLN, begini komentar PLN Dia juga berpendapat, jika permintaan pemerintah termasuk untuk membatasi izin operasi, maka bisa saja hal ini berdampak pada iklim investasi lantaran konsumen listrik mengalami kendala dalam melaksanakan haknya.