KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) bukan mendorong efektivitas efek jera bagi pelaku korupsi, malah justru kian melemahkan. ICW menyebut pelemahan sistematis terhadap penegakan hukum pemberantasan korupsi tertuang dalam naskah RKUHP. Selain itu, proses pembahasannya juga dilakukan tertutup, karena naskahnya sempat tidak disampaikan kepada masyarakat. Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menyampaikan, pihaknya mengidentifikasi sejumlah persoalan serius di RUU KUHP terutama di sektor pemberantasan tindak pidana korupsi.
Pertama, hukuman pelaku korupsi dikurangi. Mayoritas pasal yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi, hukuman pokok berupa pidana badan dan denda dikurangi. Contoh, Pasal 607 RKUHP yang merupakan bentuk baru dari Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor. Aturan ini ternyata memuat penurunan pidana badan dari 4 tahun, menjadi 2 tahun penjara. "Tidak cukup itu, denda minimalnya pun serupa, turun dari Rp 200 juta menjadi hanya Rp 10 juta," kata Kurnia dalam siaran pers, Selasa (2/8).
Baca Juga: Inilah Pasal Draft RKHUP yang Dianggap Berbahaya, Termasuk Hina Pemerintah Kemudian pada Pasal 608 RKUHP yang merupakan bentuk baru dari Pasal 3 UU Tipikor. Disana pidana badan naik dari 1 tahun menjadi 2 tahun penjara, namun tidak sebanding dengan subjek hukum pelaku, yakni pejabat publik. "Ini sekaligus upaya menyamakan hukuman antara masyarakat dengan seorang yang memiliki jabatan publik tertentu," imbuhnya. Selanjutnya, Pasal 610 ayat (2) RKUHP yang merupakan bentuk baru dari Pasal 11 UU Tipikor. Hampir serupa dengan ketentuan lain, hukuman yang ditujukan kepada penerima suap mengalami penurunan, dari 5 tahun menjadi 4 tahun penjara. Adapun hukuman pokok lain, seperti denda juga menurun, dari Rp 250 juta menjadi Rp 200 juta. Spesifik menyangkut hukuman denda, kata Kurnia, penting disampaikan bahwa salah satu pidana pokok tersebut masih terbilang rendah di dalam naskah RKUHP. Bagaimana tidak, denda maksimal yang bisa dijatuhkan kepada pelaku hanya Rp 2 miliar. "Berbeda jauh dengan UU tindak pidana khusus lain, seperti UU Narkotika atau UU Anti Pencucian Uang yang dendanya bisa mencapai Rp 10 miliar. Berpijak pada latar belakang korupsi sebagai kejahatan ekonomi, mestinya pidana denda dapat ditingkatkan," jelasnya.
Kedua, RKUHP dinilai parsial dalam memberatkan hukuman. Berdasarkan data KPK, tindak pidana suap mendominasi penanganan perkara di lembaga antirasuah itu selama lebih dari 15 tahun terakhir yakni 791 perkara. Artinya, kata Kurnia, praktik kejahatan suap masih terus merajarela di Indonesia. Hanya saja, dalam naskah RKUHP, khususnya pasal yang berkaitan dengan pemberi suap, misalnya Pasal 610 ayat (1), ICW menilai, masih mengikuti ketentuan lama, tanpa disertai pemberatan, yakni maksimal hanya 3 tahun penjara. "Ini menandakan pembentuk UU tetap mengikuti pola lama tanpa ada reformulasi yang berorientasi pada pemberian efek jera," tegasnya.
Ketiga, RKUHP dinilai bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Pada bagian penjelasan Pasal 607 RKUHP disebutkan bahwa yang dimaksud dengan 'merugikan keuangan negara' adalah berdasarkan hasil pemeriksaan lembaga negara audit keuangan. Merujuk pada definisi itu, maka menurut pembentuk Undang-undang (UU), pihak yang berwenang menghitung kerugian keuangan negara hanya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Hal tersebut bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-X/2012. Pasalnya, MK dalam pertimbangannya telah menegaskan bahwa aparat penegak hukum bukan hanya dapat berkoordinasi dengan BPKP dan BPK saat menghitung kerugian keuangan negara, melainkan juga dengan instansi lain, bahkan juga bisa membuktikan sendiri di luar temuan lembaga negara tersebut. "Dengan dasar putusan ini, menjadi jelas jika dikatakan RKUHP bertentangan dengan putusan MK," paparnya.
Keempat, korupsi tidak lagi menjadi kejahatan luar biasa. Ditemukan sejumlah penyimpangan dari regulasi umum, satu diantaranya adalah pengaturan sanksi pidana minimum maksimum di dalam UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). "Sayangnya, ketentuan itu dihilangkan dari RKUHP, misalnya, Pasal 610 ayat (2) terkait tindak pidana suap. Atas kondisi substansi aturan semacam ini, bukan tidak mungkin hakim dapat memanfaatkan diskresinya secara berlebihan guna menghukum ringan para pelaku," jelas Kurnia.
Terakhir, beleid tersebut dinilai mengkriminalisasi kritik masyarakat dalam persidangan perkara korupsi. Diketahui, proses persidangan perkara korupsi belum banyak memberikan efek jera maksimal kepada pelaku. Berdasarkan catatan ICW, rata-rata hukuman pelaku pada tahun 2021 hanya 3 tahun 5 bulan penjara. "Belum lagi ditambah dengan sejumlah putusan ganjil, mulai dari Juliari P Batubara, Pinangki Sirna Malasari, Nurhadi, hingga Edhy Prabowo. Kondisi itu tentu memantik kritik masif dari masyarakat yang menginginkan adanya hukuman yang menjerakan pelaku," tuturnya. ICW menilai, naskah RKUHP ingin mereduksi kritik masyarakat dengan turut menyertakan ancaman pidana. Poin ini tertuang secara jelas dalam Pasal 280 huruf b RKUHP. ICW berpandangan, jika ketentuan ini diundangkan, bukan tidak mungkin masyarakat yang kemudian melancarkan kritik dapat diproses secara hukum.
"Maka dari itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa substansi RKUHP bernuansa anti terhadap kritik dan melemahkan aspek partisipasi masyarakat," sebut Kurnia. Maka itu, atas dasar permasalahan-permasalahan tersebut, ICW mendesak agar pemerintah dan DPR segera mengeluarkan delik-delik korupsi dari RKUHP kemudian merevisi UU Tipikor.
Baca Juga: Ini Pasal-Pasal di RKUHP yang Mengancam Kebebasan Pers Menurut Dewan Pers Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat