KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) berbuntut pada penundaan sejumlah proyek kelistrikan. Langkah ini dimaksudkan guna mengurangi arus impor yang dapat menekan neraca perdagangan dan memperlemah Rupiah. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignatius Jonan menyebutkan akan ada penundaan sebesar 15.200 Megawatt (MW) atau 15,2 Gigawatt (GW). Setidaknya ada dua alasan yang dijelaskan Jonan mengapa langkah ini perlu diambil. Pertama ialah untuk mengurangi pertumbuhan dan kecepatan impor barang. Sebaliknya, realisasi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) harus ditingkatkan.
"Kalau dianggap tidak perlu ya kita tunda, karena pelemahan rupiah menjadi hal yang sangat perlu diperhatikan" ungkap Jonan saat ditemui di Jakarta Convention Center, Kamis (6/9). Kedua, lanjut Jonan, terkait dengan pergeseran capaian permintaan listrik. Meskipun pertumbuhan permintaan listrik pada APBN 2018 ialah sebesar 8%, namun sampai triwulan II-2018 hanya tercapai sekitar 4%. "
Demand-nya bergeser. Tahun ini permintaan listrik diprediksi kira kira 8%. Kami lihat mungkin sampai akhir tahun paling banyak 6%. Jadi yang belum
financial close (FC) atau yang belum disetujui pemerintah kita minta digeser," imbuh Jonan. Sebagai informasi, merujuk pada data yang didapat dari Kementerian ESDM, pergeseran dlakukan pada proyek pembangkit tenaga listrik yang sudah PPA namun FC. Total kapasitas proyek pembangkit tenaga listrik yang belum FC sebesar 15.200 MW atau 15,2 GW. Total investasi sebesar US$ 23,9 miliar atau sekitar Rp. 353 triliun Rinciannya, program 35.000 MW sebesar 12,28 GW dan program reguler sebesar 2,97 GW. Kontrak PPA belum FC proyek 35.000 MW sebesar 12.281 MW (36%) berjumlah 67 proyek pembangkit. Sedangkan tambahan kontrak PPA belum FC pada proyek reguler adalah 2.971 MW berjumlah 72 proyek pembangkit. Proyek tenaga listrik yang semula COD nya tahun 2018-2019 digeser ke tahun 2020-2021 dengan tetap memenuhi keandalan sistem kelistrikan. Total kapasitas pembangkit yang ditunda selama dua tahun adalah 1,16 GW yang diproyeksikan dapat menghemat impor barang di ketenagalistrikan sebesar US$ 771,6 juta atau sekitar Rp. 11,19 triliun (asumsi Rp.14.500 per dollar AS). Sedangkan proyek pembangkit yang COD tahun 2020 dan setelahnya akan disesuaikan dengan kebutuhan sistem kelistrikan setempat. Berdasarkan hasil monitoring capaian TKDN di sektor ketenagalistrikan rata-rata impor barang dan jasa di pembangkit, transmisi dan gardu induk sekitar 30%-60%. Terkait dengan pengetatan impor dan untuk mendorong TKDN ini, telah dikeluarkan Kepmen ESDM Nomor 1953 K/06/MEM/2018. Kepmen yang ditanda tangani Jonan pada 5 September 2018 itu mengatur tentang Penggunaan Barang Operasi, Barang Modal, Peralatan, Bahan Baku dan Bahan Pendukung lainnya yang Diproduksi di dalam Negeri pada sektor ESDM. Dalam Kepmen itu disebutkan bahwa badan usaha yang bergerak di sektor Migas, Minerba, Ketenagalistrikan dan EBTKE wajib menggunakan barang yang diproduksi di dalam negeri sepanjang memenuhi kualitas/spesifikasi, waktu penyerahan dan harga. Namun, penundaan ini bukan tanpa risiko dan kekhawatiran. Sebagaimana yang diberikan KONTAN, Asosiasi Produsen Listrik Seluruh Indonesia (APLSI) mengingatkan soal kepastian iklim investasi bagi para investor di bidang ketenagalistrikan. "Memang kita tahu sekarang pemerintah sedang concern pada hal-hal yang sifatnya short term, contohnya penurunan nilai tukar rupiah, Current Account Deficit. Tapi memang harus dilihat secara berimbang dengan outlook investasi ketenagalistrikan yang sifatnya jangka panjang. Kami lebih melihatnya supaya investor ada kepastian," jelas Ketua Umum APLSI, Arthur Simatupang pada Rabu (5/9). Belakangan, bahkan tersiar kabar adanya protes keras dari sejumlah Independent Power Producer (IPP) terkait dengan adanya penundaan ini. Namun, kabar itu lekas dibantah oleh Juru Bicara APLSI, Rizal Calvary.
Kepada KONTAN, Rizal bilang, pada intinya industri mengerti dan mendukung upaya stabilisasi rupiah dan ekonomi. Namun, Rizal menekankan, tingkat investasi juga perlu diperhatikan, apalagi sektor energi merupakan bagian dari indikator utamanya. "Tidak benar itu ada protes keras. Kita juga sudah konfirmasi kemarin ke Wamen. Kita mendukung stabilisasi rupiah supaya ekonomi kita secara moneter bagus. Dengan kestabilan ini rencana-rencana bisnis kita ke depan jauh lebih sustainable," jelasnya saat dihubungi KONTAN, Kamis (6/9). Rizal menyebut, hingga kini, belum ada pemberitahuan resmi mengenai proyek-proyek mana saja yang mengalami penundaan. "Sejauh ini belum ada pemberitahuan resmi dimana yang ditunda. Belum ada arahan arahan ke bawah," tandasnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Narita Indrastiti