KONTAN.CO.ID - Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) yang berlokasi di Mampang mash terus melakukan aktivitasnya, meski adanya sengketanya dengan ahli waris arbiternya alias BANI Sovereign. Bahkan Ketua BANI Mampang Husseyn Umar mengatakan, sengketa yang terjadi tidak terlalu berpengaruh atas aktivitas arbitrase. "Sampai saat ini kami masih melakukan sidang, jumlah perkara juga tidak berkurang," ungkap dia, Senin (18/9). Adapun sejak berdiri 1977, BANI telah menyelesaikan perkara hingga 1000 perkara. Sedangkan per tahunnya, BANI setidaknya menerima hampir 130 perkara.
Husseyn menjelaskan, BANI yang dipimpinnya ini adalah lembaga arbitrase yang memiliki landasan hukum (legal standing) yang sah baik secara yuridis formil dan faktual. "Kami adalah subjek hukum yang juga bayar pajak, diaudit juga," tuturnya. Sekadar tahu saja, BANI pertama kali berdiri pada 30 November 1977 oleh putusan resmi dari Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN). Kemudian, pemerintah pun mengatur lewat UU No. 30/1999 tetang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Yang mana di Pasal 34 ayat 1 secara jelas mengatur penyelesaian sengketa melalui arbiter dapat dilakukan dengan menggunakan lembaga arbitrase nasional atau internasional. "Jadi UU tidak mengatur BANI itu harus berbadan hukum," tambah Hussyen. Apalagi, ia menyampaikan BANI yang berlokasi di Mampang telah diakui di mata internasional. "Saya masih diundang sebagai pembicara di acara arbitrase internasional," lanjutnya. Kendati begitu, sejatinya BANI tidak melarang berdirinya lembaga arbitrase lainnya di Indonesia. Seperti halnya Badan Arbitrase Pasal Modal Indonesia (Bapmi) dan Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI). Menurutnya, hal tersebut juga lazim dilakukan di negara lain. Tapi, dirinya keberatan jika ada pihak yang mendirikan lembaga arbitrase dengan nama yang sama.