KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah bakal menggunakan nomor induk kependudukan (NIK) sebagai nomor pokok wajib pajak (NPWP) bagi orang pribadi.Ketentuan tersebut tercantum dalam aturan Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) yang disepakati pemerintah melalui Kementerian Keuangan dan juga oleh Komisi XI DPR RI. “Peraturan menggunakan NIK sebagai NPWP orang pribadi, saya tegaskan bukan berarti yang punya NIK langsung harus membayar pajak,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Konfersensi pers RUU HPP, Kamis (7/10). Menurutnya penggunaan data kependudukan atau NIK adalah dengan tujuan sebagai administrasi perpajakan agar mempermudah wajib pajak orang pribadi melaksanakan pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan demi kesederhanaan administrasi dan kepentingan nasional.
Pembayaran pajak dilakukan apabila penghasilan setahun di atas batasan penghasilan tidak kena pajak (PTKP) di bawah Rp 54 juta, atau peredaran bruto di atas Rp 500 juta per tahun bagi pengusaha yang membayar Pajak Penghasilan (PPh) final 5% sebagaimana yang tertuang dalam PP-23/2018. Sri Mulyani juga mengatakan, pendataan sistem administrasi perpajakan ini menggunakan NIK, bukan berarti data pajaknya bisa diterobos dan diketahui. Pemerintah akan tetap menjaga kerahasiaan dari data wajib pajak baik pribadi maupun badan.
Baca Juga: Ditjen Pajak beberkan tujuan RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan Lebih lanjut, Dia mengatakan peraturan ini menggambarkan pemihakan yang sangat nyata. Terdapat juga penurunan sanksi pada saat pemeriksaan dan sanksi dalam upaya hukum yang juga disampaikan dalam peraturan UU Cipta Kerja. Pertama, sanksi pemeriksaan dan wajib pajak tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) yakni, PPh kurang dibayar akan dikenakan bunga per bulan sesuai dengan bunga yang berlaku di pasar sehingga tidak menjadi denda yang sangat tinggi atau bunga per bulan sebesar suku bunga acuan ditambah
uplift factor atau denda tambahan 20% dengan maksimal 24 bulan. Sementara pada RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) dikenakan sanksi 50%. Untuk PPh kurang dipotong dikenakan bunga per bulan sesuai dengan bunga yang berlaku di pasar sehingga tidak menjadi denda yang sangat tinggi atau bunga per bulan sebesar suku bunga acuan ditambah
uplift factor atau denda tambahan 20% dengan maksimal 24 bulan. Sementara pada RUU KUP dikenakan sanksi 100%. Untuk PPh dipotong tetapi tidak disetor, sebelumnya dalam RUU KUP dikenakan denda 100% dan dalam RUU HPP dikenakan 75%. Sementara untuk PPN dan PPnBM kurang bayar juga sebelumnya dalam RUU KUP dikenakan denda 100% dan dalam RUU HPP diturunkan 75%.
Skema kedua yaitu, sanksi setelah upaya hukum namun keputusan keberatan atau pengadilan mengusulkan ketetapan Direktorat Jendral Pajak (DJP), yakni yang keberatan atau jika DJP menang di pengadilan maka yang bersangkutan atau yang berperkara akan dikenakan 30% sebelumnya dalam RUU KUP sebesar 50%. Selanjutnya, jika yang berperkara mengajukan banding dan DJP tetap menang maka akan dikenakan 30% turun dari 50% dalam RUU KUP, dan terakhir jika yang bersangkutan mengajukan kembali banding maka akan dikenakan sanksi lebih tinggi yaitu 60%, setelah sebelumnya dalam RUU KUP dikenakan 100%. “Ini adalah sanksi yang memang lebih rendah tetapi tetap memberikan diferensiasi atau pencegahan atau upaya dalam menghindari pajak,” pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .