Ini penyebab emiten harus delisting paksa



JAKARTA. Bursa Efek Indonesia (BEI) nampaknya mulai jengah dengan perkembangan usaha beberapa emiten. Dari data yang dilansir BEI, setidaknya ada tujuh perusahaan yang terancam dikeluarkan secara paksa (force delisting).

Hoesen, Direktur Penilaian Perusahaan BEI mengakui, pihaknya sudah mengirimkan surat teguran kepada tujuh emiten tersebut . Maklum, ketujuh emiten itu belum menunjukkan itikad untuk memperbaiki performa usahanya.

Ketujuh emiten tersebut adalah PT Panasia Filament Inti Tbk (PAFI), PT Central Proteinaprima Tbk (CPRO), PT Siwani Makmur Tbk (SIMA), PT Cipendawa Tbk (CPDW), PT Amstelco Indonesia Tbk (INCF), PT Panca Wiratama Sakti Tbk (PWSI) dan PT Berlian Laju Tanker Tbk (BLTA).


Padahal, BEI sudah menghentikan perdagangan saham ketujuh emiten tersebut cukup lama. "Kami terus memantau mereka, karena di antara mereka juga sudah ada menunjukkan niat untuk mengembangkan usaha," kata Hoesen, Jumat (28/12).

Masalah yang menimpa ketujuh emiten yang masuk daftar calon korban delisting sebenarnya mayoritas tidak jauh dari masalah utang. PT Central Proteinaprima Tbk (CPRO), misalnya, sedang terbelit ancaman gagal bayar (default) atas obligasi yang diterbitkan anak usahanya, Blue Ocean Resources Pte Ltd (BOR) senilai US$ 325 juta.

Maklum, sejak Desember 2009, CPRO tak mampu membayar bunga obligasi yang diterbitkan BOR pada 28 Juni 2007. Manajemen CPRO beralasan kondisi keuangan mereka memburuk. Ini terjadi lantaran, salah satu tambak udang CP Prima yaitu Central Pertiwi Bahari (CPB) diserang infectious myonecrosis virus (IMNV) April 2009 dan membuat produksinya menurun.

Sudah usaha

CPRO sudah mengajukan permohonan restrukturisasi obligasi BOR kepada Pengadilan Singapura. Proposal tersebut terdiri dari tiga klausul yaitu pertama, perpanjangan tenor obligasi delapan tahun dari tanggal jatuh tempo terdahulu di 28 Juni 2012. Artinya, jika disetujui, jatuh tempo menjadi 28 Juni 2020.

Kedua, mengubah suku bunga obligasi. Dari semula 11% per tahun setelah restrukturisasi, tingkat suku bunga akan bervariasi. Rinciannya, pada tahun pertama dan kedua, tingkat bunga obligasi sebesar 2%.

Di tahun ketiga dan keempat, bunga obligasi yang harus dibayar BOR meningkat menjadi 4%. Tingkat bunga kemudian naik menjadi 6% di tahun kelima dan keenam. Sementara di tahun ketujuh dan kedelapan, BOR harus menanggung tingkat bunga obligasi sebesar 8%.Ketiga, CPRO mengajukan perubahan cicilan utang pokok yaitu dengan mencicil pokok setiap enam bulan sekali.

Kondisi serupa menimpa PT Berlian Laju Tanker Tbk (BLTA). Saat ini, BLTA berstatus gagal bayar alias default utang senilai Rp 414,67 miliar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Avanty Nurdiana