KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Harga Batubara Acuan (HBA) terus melorot sejak September 2018. Kini, HBA April sudah di bawah US$ 90 per ton, tepatnya US$ 88,85 per ton. Angka itu turun sebesar 1,89% dibandingkan HBA Maret 2019 yang masih berada di angka US$ 90,57 per ton. Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerjasama Kementerian ESDM Agung Pribadi menyampaikan, penurunan tersebut utamanya disebabkan oleh kondisi pasar global. Agung bilang, penurunan HBA April dipengaruhi adanya pembatasan impor batubara oleh India, dimana beberapa pabrik keramik di India sebagai konsumen batubara tengah ditutup sementara karena masalah lingkungan. Faktor lainnya adalah China yang memperbanyak produksi batubara untuk memenuhi kebutuhan domestiknya.
Selain itu, sambung Agung, ada juga faktor berkurangnya supply batubara Australia ke China, juga permintaan batubara Rusia yang menurun untuk memasok batubara ke negara Eropa. Akibatnya, terjadi pengalihan penjualan batubara ke negara lain, seperti Jepang dan Korea. "Sehingga berkurangnya supply batubara Indonesia ke negara Jepang dan Korea, juga mempengaruhi turunnya rata-rata indeks bulunan," kata Agung saat dihubungi Kontan.co.id, Kamis (4/4). Dengan sejumlah faktor tersebut, rata-rata indeks bulanan turun, yakni Index ICI turun 2,09%, NEX turun 3,41%, GCNC turun 2,42%, sementara Indeks Platt's naik 0,84%. Seperti diketahui, ada empat variabel yang membentuk HBA, yaitu Indonesia Coal Index (ICI), Newcastle Export Index (NEX), Global Coal Newcastle Index (GCNC), dan Platss 5900 dengan bobot masing-masing 25%. Terkait dengan pembentukan HBA ini, kepada Kontan.co.id, Ketua Indonesian Mining and Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo menilai, pemerintah perlu mengevaluasi formulasi HBA yang ada saat ini. Menurut Singgih, sebaiknya porsi Indonesian Index atau tambahan indeks baru yang dikeluarkan pemerintah menjadi lebih besar dari hanya 25%. Hal itu lantaran formulasi HBA didasarkan pda batubara kalori 6.322 kcal/kg, sementara Indonesia lebih banyak mengekspor batubara pada kalori 4.600 - 5.100 kcal/kg. "Dengan formulasi perhitungan HBA saat ini, seringkali fluktuasi harga terjadi akibat pengaruh harga batubara di negara lain, seperti Australia," kata Singgih. Diversifikasi Pasar dan Oversuplly Di sisi lain, untuk menjaga harga batubara, Singgih pun menilai perlu ada diversifikasi pasar untuk ekspor batubara Indonesia yang selama ini didominasi oleh China dan India. Singgih bilang, kedua negara tersebut mengusai separuh pangsa ekspor batubara Indonesia, sehingga kebijakan impor dari kedua negara tersebut akan sangat sensitif terhadap bisnis batubara Indonesia. "Jelas sangat beresiko, dengan pasar yang menguasai 50% ekspor, itu sensitif atas kebijakan Cina dan India, tentu ini membahayakan industri pertambangan Indonesia," ungkapnya. Sehingga, Singgih berpendapat bahwa pasokan terhadap pasar batubara di Asia Tenggara perlu diperkuat, mengingat potensinya yang terus tumbuh hingga tahun 2030. Apalagi, sambung Singgih, dengan posisi geografis, jarak dan kualitas batubara yang sesuai, emas hitam asal Indonesia ini akan sangat kompetitif untuk mendukung kebutuhan kelistrikan di kawasan ASEAN, khususnya Vietnam dan Malaysia.
Tak hanya itu, Singgih juga menekankan pentingnya mencermati dinamika pasokan batubara. Menurutnya, tren harga yang terus menurun juga didorong oleh kondisi oversuplly yang ada di pasar. Hal senada juga dikemukan oleh Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia. Menurut Hendra, HBA yang terus menurun merupakan alarm untuk mengendalikan pasokan, yang juga berarti pengendalian produksi batubara di Indonesia. "Ini memang alarm juga bagi kita bahwa pengendalian produksi sudah sangat penting, karena harga juga terbentuk dari supply," ungkapnya. Dengan kondisi ini, Singgih memprediksi harga batubara di tahun ini tidak akan sebaik harga pada tahun 2017 dan 2018. Hanya saja, harga batubara tahun ini yang diprediksinya berada dikisaran US$ 90 per ton masih positif untuk bisnis batubara di Indonesia. "Absolutely masih prospek, menurut saya cukup bagus untuk (industri) pertambangan," tandasnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Azis Husaini