KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja keuangan dan operasional PT Austindo Nusantara Jaya Tbk (
ANJT) cemerlang di tahun 2021. Di mana, pendapatan dan laba bersih ANJT kompak tumbuh signifikan jika dibandikan dengan tahun 2020. Di tahun lalu, ANJT mencatatkan pendapatan sebesar US$ 266,8 juta atau melesat 62,6% dibandingkan dengan 2020. Kenaikan pendapatan disebabkan oleh peningkatan volume penjualan dan harga jual rata-rata minyak kelapa sawit atawa crude palm oil (CPO) dan inti sawit atau Palm Kernel (PK). Penjualan kelapa sawit berkontribusi sebesar 99,0% terhadap total pendapatan Austindo Nusantara Jaya atau sebesar US$ 264,0 juta. Nilai tersebut naik dibandingkan dengan US$ 161,8 juta atau 98,6% dari jumlah pendapatan di 2020.
Lucas Kurniawan, Direktur Utama ANJT mengatakan, peningkatan kinerja keuangan perusahaan didorong faktor penawaran dan permintaan. "Ekonomi dunia yang mulai pulih telah meningkatkan permintaan terhadap kelapa sawit dan produk turunannya," kata dia dalam keterangan resmi, Kamis (17/3).
Baca Juga: Kinerja Moncer, Laba Bersih Austindo Nusantara Jaya (ANJT) Melonjak 1.695% di 2021 Pada 2021 produksi CPO dan PK mengalami kenaikan masing-masing sebesar 7,4% dan 4,6% menjadi 262.683 metrik ton (mt) dan 51.531 mt. Sementara itu, ANJT juga mencatat kenaikan volume penjualan CPO sebesar 11,6% yoy menjadi sebesar 268.289 mt dan PK naik 6,8% menjadi 51.991 mt pada 2021. Sepanjang 2021 manajemen ANJT mengungkapkan, tren harga CPO terus meningkat, sehingga pihaknya mencatat Harga Jual Rata-rata (HJR) CPO sebesar US$ 801 per mt. Lagi-lagi, nilai ini lebih tinggi 38,0% dari HJR di 2020 sebesar US$ 581 per mt. Sementara itu, HJR PK pada 2021 sebesar US$ 527 per mt, lebih tinggi 67,2% dibandingkan dengan HJR PK pada 2020. Maka dari itu, seiring dengan naiknya pendapatan, laba ANJT ikut melonjak senada dengan meningkatnya tren harga CPO. Emiten perkebunan sawit ini mencatatkan laba bersih sebesar US$ 39,7 juta atau tumbuh hingga 1.695% yoy dibandingkan dengan laba bersih sebesar US$ 2,2 juta pada 2020. Lucas menjelaskan, kenaikan laba terutama disebabkan oleh kenaikan volume penjualan dan HJR CPO dan PK pada 2021. Faktor ini juga menyebabkan EBITDA mengalami kenaikan dari US$ 34,3 juta pada 2020 menjadi US$ 87,2 juta pada 2021 dan marjin EBITDA naik dari 20,9% pada 2020 menjadi 32,7% pada 2021. Meskipun penjualan di tahun lalu didominasi oleh segmen kelapa sawit, bisnis ANJT lainnya juga turut memberikan kontribusi positif karena kinerjanya tumbuh dibandingkan 2020. Rinciannya, segmen sagu ANJT menyumbang US$ 1,3 juta dari total pendapatan di 2021, atau naik dari US$ 1,2 juta di 2020. Hal ini disebabkan oleh kenaikan volume penjualan. Kemudian di segmen energi terbarukan berkontribusi sebesar US$ 577,2 ribu pada 2021, lebih tinggi dibandingkan dengan US$ 574,2 ribu pada 2020. Manajemen ANJT mengatakan, hal ini disebabkan oleh lebih tingginya produksi listrik pada pembangkit listrik biogas jika dibandingkan dengan 2020.
Baca Juga: Austindo Targetkan Pertumbuhan 15% Produksi dan Penjualan CPO Tahun Ini Sementara itu, entitas anak ANJT yakni GMIT telah memulai ekspor edamame bekunya ke Jepang pada Maret 2021 dan repeat order dari pembeli yang sama untuk batch berikutnya telah diterima. Pendapatan penjualan edamame ANJT pun capai US$ 878,7 ribu, atau melesat 90,5% dari US$ 461,3 ribu pada 2020, terutama disebabkan oleh volume penjualan dan harga jual edamame beku yang lebih tinggi. Sebagai tambahan informasi, di sepanjang 2021, ANJT mencatat kenaikan beban usaha (bersih setelah pendapatan usaha) sebesar 69,9% yoy menjadi US$ 38,2 juta, dari sebelumnya US$ 22,5 juta pada 2020 karena peningkatan beban penjualan sebagai dampak dari kenaikan pungutan ekspor menjadi US$ 175 per mt pada tahun 2021 dari US$ 55 per mt pada Juni 2020.
Selain itu, ANJT juga mendapatkan pajak ekspor dari US$ 33 per MT pada tahun 2020 menjadi US$ 200 per MT pada tahun 2021 sejalan dengan kenaikan harga CPO. Namun, di tahun lalu beban usaha (bersih setelah pendapatan usaha) pada 2021 termasuk rugi kurs mata uang asing sebesar US$ 0,4 juta, turun dibandingkan dengan laba kurs mata uang asing pada 2020 sebesar US$ 3,1 juta, disebabkan oleh melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dari Rp 14.105 pada akhir tahun 2020 menjadi Rp 14.269 pada akhir 2021. Di sisi lain, beban keuangan yang merupakan beban bunga atas pinjaman naik menjadi US$ 4,7 juta di 2021 dari US$ 3,3 juta di 2020 terutama disebabkan oleh pengakuan beban bunga tambahan dari perkebunan di Papua Barat. Asal tahu saja, semakin banyak area perkebunan yang diklasifikasikan sebagai area menghasilkan, semakin rendah beban bunga yang dapat dikapitalisasi. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari